Tuesday, September 10, 2013

IMPOR SEBAGAI PANGLIMA

Impor sebagai panglima
Senin, 9 September 2013

Indonesia dikenal sebagai negeri agraris hanya sebutan di atas kertas saja. Untuk memenuhi kebutuhan domestiknya saja harus dengan impor, termasuk kedelai dan bahan pangan lainnya. Minimnya aturan memihak petani menjadi masalahnya. Saat ini negara memposisikan perdagangan sebagai panglima, mengedepankan produksi pertanian dalam negeri.

Itulah pandangan Latif Adam, ekonom dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengenai kondisi pangan Indonesia saat ini. Sebanyak 70 persen kebutuhan kedelai kita saat ini impor. Itu artinya stabilitas pangan kita adalah perdagangan, semuanya beli atau impor, bukan memikirkan ke depan untuk produksi, kata Latif melalui telepon selulernya kepada merdeka.com Sabtu pekan lalu.

Padahal, menurut dia, Batan (Badan Tenaga Atom Nasional) dan LIPI sudah mampu menciptakan bibit kedelai bisa menghasilkan produk berkualitas dalam jumlah besar. Namun, pemerintah tidak terlalu peduli dengan hasil riset itu.

Komersialisasi hasil riset tidak menyentuh petani. Petani masih mengandalkan bibit biasa. Maka tidak mengherankan kedelai sebagai tanaman sampingan, ujar Latif. Dia menambahkan pemerintah selalu mengambil jalan pintas, yakni impor, saat menghadapi krisis kedelai.

Cara penyelesaian macam ini menempatkan perdagangan sebagai panglima. Keluarnya peratura menteri perdagangan tentang ketentuan impor kedelai untuk stabilisasi harga makin menabalkan hal itu. "Kita akan tergantung ke luar negeri. Ketika ada gejolak moneter seperti saat ini, siapa bisa mengontrol itu?"

Seharusnya, pemerintah mengubah paradigma dengan dengan mengedepankan produksi sebagai panglima dan solusi jangka panjang dalam stabilisasi pangan. Bila tidak seperti itu, urusan kedelai dan kebutuhan bahan pangan lainnya akan terus mengandalkan impor.

Namun Latif mengakui tidak mudah melaksanakan paradigma ini. Selama ini pemerintah tidak memihak kepada petani yang menanam kebutuhan pokok. Belum lagi lahan pertanian berkurang karena dijadikan lokasi industri.

Menurut dia, Indonesia menjalankan sistem ekonomo pasar bebas secara ugal-ugalan. Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan akan saling lempar tanggung jawab saban kali ada masalah kelangkaan bahan pangan. "Untuk meningkatkan indeks produksi kita, bukan impor. Dengan kondisi saat ini, mereka tidak satu tujuan dan tidak memperhatikan tujuan, kata Latif.

Dia menilai pemerintah memang tidak berkomitmen untuk produksi dan dukungan ke petani sebagai solusi. "Harusnya kita bisa komplain ke WTO. Kedelai impor dari Amerika Serikat bisa banyak dan maju karena ada subsidi besar dari pemerintahnya. Kenapa tidak protes kedelai dari Amerika Serikat itu ditumpangi oleh kebijakan dumping, ujar Latif.

[fas]



» Arsip
» Diakses : 55 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

No comments:

Post a Comment