Thursday, March 28, 2013

INEQUALITY: THE MAIN CHALLENGE FOR POST-2015 DEVELOPMENT AGENDA

Inequality: The main challenge for post-2015 development agenda
Kamis, 28 Maret 2013

Riwanto Tirtosudarmo, Jakarta | Opinion |

This week is a busy week for many stakeholders in international development as they currently gather in Bali to discuss the post-2015 development agenda. The event will also evaluate the achievements of the Millenium Development Goals (MDGs) that will end in 2015.

Civil society groups, academics, the private sector, government officials and politicians will conduct parallel meetings that will culminate in the fourth meeting of the High Level Panel of Eminent Persons (HLPEP) in which President Susilo Bambang Yudhoyono, British Prime Minister David Cameron) and Liberian President Ellen Johnson Sirleaf are the chairs.

The Bali meeting is the final meeting of the HLPEP meetings previously conducted in New York, London and Monrovia. The panel is part of the secretary-generals post-2015 initiative mandated by the 2010 MDG Summit.

UN member states have called for open, inclusive consultations involving civil society, the private sector, academics and research institutions from all regions, in addition to the UN system, to advance the development framework beyond 2015.

Issues related to sustainable development, particularly economic growth, social equity and the environment will become the major focuses for the post-2015 development agenda.

One of the perspectives that will be brought to the discussion in Bali is the contribution of population dynamics in the achievement of sustainable development. Population dynamics are acknowledged to play a significant role in shaping the achievement of sustainable development goals. As one of the largest countries in terms of population, Indonesia has many experiences and features that could be shared with the world.

One major issue that increasingly needs to be given more attention in the discussion on sustainable development is the issue of inequality among populations between and within countries. Late last year, The Economist, in its October 2012 edition, succinctly wrote: Growing inequality is one of the biggest social, economic and political challenges of our time.

Indeed, inequality is pressing all of us through its various manifestations and sustainable development will never be realized if the widening inequality cannot be resolved. Social equity, as one of the focuses of the post-2015 development agenda besides economic growth and environment sustainability, is highly instrumental in tackling the increasing problem of inequality.

The manifestation of inequality is often measured through a selected number of social and economic indicators that show the glaring gap between different groups within society. The crude measurements, however, still use income per capita between different economic classes within a country or the average income per capita between countries.

Inequality is apparently increasing between economic classes as well as between regions in Indonesia, in which Java has consistently shown higher social and economic conditions compared to the rest of the country, especially with the eastern parts. At the global level, as The Economist (2012) based on various sources, has also indicated the alarming growing inequality internationally.

The issue of social equity is therefore critical for the overall goals of the post-2015 development agenda as increasing inequality no doubt threatens economic growth as well as environmental sustainability, both in Indonesia and in the world. Population dynamics concerning migration or human movement is perhaps the most crucial component that is strongly interconnected with the spatial dimension of social equity.

As the case of Indonesia has shown, the relocation of people to urban areas in Java and to other economic hubs on other islands reflects the uneven development between regions as well as inequality between migrants and local populations.

Rapid urbanization has resulted in the increasing concentration of people in the areas around Jakarta, Semarang, Bandung and Surabaya, all of which are located in Java. The glaring disparity between the haves and the haves not in the cities is also an alarming sign as social tensions and conflict can easily break out at some point.

The large proportion of young people not adequately accommodated in the labor markets is also another issue on how population age structure is closely related with social, economic and political developments.

The recently published 2012 Failed States Index illustrates that incompetence in managing a growing population significantly contributes to the condition of a failed state.

At the global level, the situation concerning population dynamics and social equity is unfortunately far from promising. International migration could be seen as one of the aspects making the inequality gap between rich industrialized countries and poor developing countries lean toward more protectionism on the part of rich countries when it comes to immigration. In the last 10 years or so, international migration has been perceived not only as an issue of economic development but also of becoming more political and securitized.

Unless a progressive effort to reduce the barriers to human mobility between countries is removed, which is unlikely, the social equity issue as aspired to in the post-2015 development agenda currently under discussion in Bali will most likely be the main stumbling block to making the world more equally prosperous and peaceful.

The writer is a researcher at the Research Center for Society and Culture, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Jakarta.



» Arsip
» Diakses : 26 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

LIPI BIDIK PENELITI MUDA JADI SCIENCE DIPLOMAT

LIPI Bidik Peneliti Muda Jadi Science Diplomat
Kamis, 28 Maret 2013

(Jakarta, 28 Maret 2013 Humas LIPI). Keterlibatan peneliti untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia dalam bidang Iptek pada negosiasi internasional sangat diperlukan. Kontribusi peneliti tidak hanya sebagai seseorang yang expert dalam bidang keilmuan tertentu saja, tetapi sebagai science diplomat yang mampu mengembangkan jejaring dan kerjasama internasional untuk meningkatkan kemampuan Iptek nasional, ujar Sekretaris Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Akmadi Abbas dalam sambutannya pada acara Training Workshop dan FGD Meningkatkan Peran LIPI Dalam Diplomasi Global Melalui Pengembangan Science Diplomat, di Hotel Salak, Bogor, Senin (25-26/3) lalu.

Menurutnya, peran peneliti muda untuk menjadi Science Diplomat sangat potensial, apalagi kompetensi LIPI di bidang science selama ini tidak diragukan lagi. Hal tersebut terbukti dengan kepercayaan dari banyak institusi penelitian luar negeri yang tertarik menjalin kerjasama di bidang riset ilmiah. Dengan peran LIPI yang kuat sebagai focal point UNESCO dan berbagai organisasi ilmiah internasional serta kewenangannya sebagai scientific authority, maka pemahaman persepsi mengenai diplomasi dan negosiasi internasional mutlak diperlukan sivitas di lingkungan LIPI, jelasnya.

Sementara itu, Kepala Biro Kerjasama dan Pemasyarakatan Iptek (BKPI) LIPI, Dr. Bogie Soedjatmiko Eko Tjahjono, M.Sc dalam paparan menyoroti bahwa sinergi satuan kerja LIPI itu penting dalam menghadapi tantangan global melalui peningkatan kerjasama internasional. Science diplomat juga dituntut untuk berperan seperti diplomat yang mampu melakukan lobi dan negosiasi untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia terutama dalam bidang Iptek dan kerjasama Research and Development, tuturnya.

Nur Tri Aries, M.A., Kepala Bagian Humas BKPI LIPI menambahkan, peningkatan peran peneliti dalam diplomasi kerjasama dan jejaring internasional perlu lebih ditingkatkan. Para peneliti dapat memanfaatkan seminar, konferensi maupun kegiatan lainnya di tingkat internasional untuk dijajaki kemungkinan kerjasama. Dimulai dengan pembicaraan informal, komunikasi yang baik, dan bila memungkinkan dibawa ke kerjasama penelitian melalui MoU, tandasnya.

Acara training workshop ini diikuti sekitar 30 peneliti muda di lingkungan LIPI. Hadir sebagai nara sumber ialah Duta Besar Hazairin Pohan yang memberikan teknik bernegosiasi dalam sidang bilateral, Duta Besar Agus Tarmidzi mengenai tehnik negosiasi dalam sidang Multilateral, Prof. Dr. Endang Sukara yang berbagi pengalaman mengani keterlibatannya dalam Program UNESCO, Man and the Biosphere serta Siuaji Raja, Direktur Diplomasi Publik Kemenlu tentang bagaimana menyampaikan diplomasi publik dalam kerja sama internasional. (rtn,arh,afs/yos,pwd)



» Arsip
» Diakses : 156 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

Wednesday, March 27, 2013

PPET LIPI GELAR SEMINAR NASIONAL RADAR

PPET LIPI Gelar Seminar Nasional Radar
Rabu, 27 Maret 2013

JAKARTA, (PRLM).- Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (PPET) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dijadwalkan menyelenggarakan The 7th National Radar Seminar and The 2nd ICRAMET, berlangsung di Surabaya, Rabu (27/3) - Kamis (28/3/13).

Sebagaimana siaran pers, Selasa (26/3/13) disebutkan bahwa kegiatan ini merupakan hasil kerja sama PPET LIPI dengan IEEE Indonesian Microwave and Antenna Propagation Chapter, IEEE Joint GRSS & AES Indonesia Chapter, Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Sekolah Teknik Elektro-Informatika (STEI) ITB, International Research Centre for Telecommunications and Radar - Indonesia (IRCTR - I), dan Asosiasi Radar Indonesia (AsRI).

Dijelaskan, dalam seminar tersebut akan dilakukan presentasi makalah ilmiah oleh para peneliti, pemerhati, pengguna dan produsen di bidang Radar, Elektronika, dan Telekomunikasi dengan topik di antaranya regulasi dan kebijakan industri radar dan telekomunikasi, pengolahan sinyal dan citra radar, antena untuk aplikasi radar dan telekomunikasi, perangkat keras untuk radar dan telekomunikasi, serta aplikasi radar dan telekomunikasi untuk mendukung sistem pertahanan dan keamanan Indonesia.

Seminar ini diharapkan dapat memetakan kemampuan dan kebutuhan bidang radar, elektronika dan telekomunikasi secara nasional. Selain itu, seminar ini merupakan upaya untuk menggalang kerja sama semua unsur yang terlibat dalam kebijakan, penggunaan, penyediaan, penelitian dan pengembangan, dan pemeliharaan sehingga dicapai sinergi dan kolaborasi yang kuat. Harapannya adalah terciptanya kemandirian di bidang industri radar dan telekomunikasi. (A-94/A-108)***



» Arsip
» Diakses : 20 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

LIPI BIKIN ALAT PENDETEKSI TANAH LONGSOR

LIPI bikin alat pendeteksi tanah longsor
Rabu, 27 Maret 2013

Tiap tahun, bencana tanah longsor kerap terjadi. Apalagi di musim hujan. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2013, daerah yang rawan longsor terletak di pulau Jawa seperti Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Bencana tanah longsor kerap kali merenggut banyak korban jiwa. Terakhir, bencana tanah longsor terjadi di Bandung Barat. Data sementara, korban tewas sebanyak 9 orang.

Padahal, bencana seperti tanah longsor bisa diprediksi. Caranya dengan menggunakan sensor elektromagnetik.

Alat tersebut berbentuk batang besi berukuran 15 sentimeter dan diberi sensor di dalamnya yang berukuran 20 sentimeter. Alat itu ditanam di dalam tanah. Cara kerjanya mengirim dan menerima kembali sinyal elektromagnetik yang mengukur volume air di tanah.

"Sensor yang ditanam di dalam lereng (dalam tanah) bisa melihat seberapa banyak kadar air yang sudah berada di dalam tanah, jadi kita bisa memantau apakah lereng itu terindikasi rawan longsor atau tidak," kata Peneliti P2 Geoteknologi LIPI Adrin Tohari dalam diskusi publik "Mitigasi Banjir dan Longsor" di Ruang Seminar Widya Graha LIPI Jakarta, Selasa (26/3).

Penyebab terjadinya longsor biasanya tanah di lereng-lereng sudah terisi penuh oleh air. Sehingga, kemungkinan besar tanah itu akan mudah longsor.

"Semoga pemerintah nantinya mau bekerja sama dengan para peneliti, untuk menguji ulang kelayakan alat ini agar bisa secepatnya disosialisasikan ke masyarakat," harap Adrin.[has]



» Arsip
» Diakses : 34 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

DAERAH RENDAH DI JAKARTA MELEBAR

Daerah Rendah di Jakarta Melebar
Rabu, 27 Maret 2013

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli hidrologi pada Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Robert M Delinom mengemukakan daerah rendah di kawasan Jakarta semakin melebar. Hal ini terlihat dari banjir yang banyak merendam wilayah Jakarta terakhir tahun 2013.

Ia mencontohkan di daerah sekitar Menara Syahbandar Pasar Ikan, Jakarta Utara, genangan air pada banjir di 2013 kemarin itu meluas.

"Dulu waktu banjir 2007 memang di daerah itu terendam. Tapi sekarang daerah banjir melebar," ujar Robert M Delinom dalam presentasinya pada diskusi publik "Mitigasi Banjir dan Longsor" di LIPI, Jakarta, Selasa (26/3/2013).



» Arsip
» Diakses : 17 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

LIPI: BANJIR MESTINYA BISA DIPREDIKSI

LIPI: Banjir Mestinya Bisa Diprediksi
Rabu, 27 Maret 2013

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menilai bencana banjir dan tanah longsor semestinya bisa diantisipasi dengan waktu yang relatif dan diprediksi, sehingga bisa meminimalisasi kerugian harta benda dan korban jiwa.

"Namun, masih terbatasnya kemampuan penanggulangan bencana mulai dari prabencana saat bencana dan pascabencana, membuat banjir dan longsor selalu menjadi masalah pelik yang sulit terpecahkan," kata Kepala Pusat Penelitian Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bambang Widyatmoko saat diskusi publik Mitgasi Banjir dan Longsor: Kajian Ilmiah LIPI untuk Pencegahan Banjir dan Longsor di Jakarta, Selasa (26/3).

Menurutnya, LIPI sebagai lembaga riset selalu mendorong peningkatan pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah nasional, khususnya kebencanaan.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan sebanyak 315 kabupaten/kota dengan penduduk 60,9 juta jiwa tinggal di daerah rawan banjir, sementara 270 kabupaten/kota dengan penduduk 124 juta jiwa berada di daerah rawan longsor.

Peneliti Geoteknologi LIPI Adrian Tohari mengatakan dari data tersebut menunjukkan bahwa daerah rawan banjir dan longsor perlu mendapat perhatian serius. "Hal ini terkait dengan penanggulangannya dan pemanfaatan teknologi untuk pencegahannya," ucapnya.



» Arsip
» Diakses : 23 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

KEBUN RAYA BATAM: PEMKOT BUTUH BIAYA PROYEK RP 800 MILIAR

KEBUN RAYA BATAM: Pemkot Butuh Biaya Proyek Rp 800 Miliar
Rabu, 27 Maret 2013

BISNIS.COM, BATAMPemerintah menyiapkan lahan seluas 85 hektar untuk pembangunan proyek Kebun Raya The View Of Indonesia di Nongsa, Batam.

Kepala Dinas Tata Kota Batam Gintoyono Batong mengungkapkan proyek tersebut diperkirakan akan membutuhkan dana sekitar Rp800 miliar.

Kebun Raya akan menggunakan lahan sekitar 85 hektar di daerah Nongsa dan dengan anggaran Rp800 miliar, ujarnya, Selasa (26/3/2013).

Dia mengatakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Kementerian PU terlibat untuk merealisasikan proyek Kebun Raya ini. Dalam waktu dekat dua lembaga tersebut akan datang untuk meninjau lokasi proyek tersebut.

Kemen PU sendiri rencananya akan mengerjakan proyek tersebut.

Kami kerjasama LIPI, sama seperti Kebun Raya Bogor. Mereka akan datang Rabu ini untuk meninjau, katanya.

Rencananya anggaran sebesar Rp800 miliar akan dipakai untuk membangun sejumlah infrstruktur yang mendukung Kebun Raya termasuk Gedung kantor observasi, laboratorium, pemagaran, jalan, mess hingga peneliti.

Menurut Gintoyono, pihaknya akan meminta sumber pendanaan dari APBN dengan didukung DED yang akan diselesaikan tahun ini. Tahun depan diharapkan sudah dianggarkan puluhan miliar untuk tahap awal memulai pembangunan.

Kalau bisa dapat tahun depan saja untuk tahap awal, itu sudah jadi ada kebun raya, imbuhnya.

LIPI dan Pemkot Batam memilih lokasi Nongsa karena menilai hutan dikawasan tersebut masih belum disentuh dan tidak mengalami kerusakan sehingga dianggap tepat untuk dijadikan Kebun Raya.

Kebun Raya The View Indonesia, rencananya selain dijadikan tujuan wisata juga akan berguna sebagai lokasi penelitian.

Makanya Dirjen semangat menjadikan itu sebagai taman Raya. Nanti menjadi tempat peneliti untuk belajar, jelasnya.

Ilham Eka Hartawan, Kasubdit Humas dan Publikasi BP Batam mengungkapkan proyek Kebun Raya tersebut sudah ditandatangani Pemkot Batam-BP Batam dan Lipi pada 21 Mei 2012 di Bogor.

Kebun Raya ini dipilih di Batam karena sebagai pintu masuk Indonesia di kawasan Asia Tenggara sehingga bisa memperkenalkan bermacam-macam tanaman Indonesia ke dunia Internasional.

BP Batam juga sudah mengalokasikan lahan sekitar 85 hektare di Sambau Nongsa yang nantinya sebagai tempat pembangunan Kebun Raya Batam yang dilengkapi dengan taman rekreasi dan hiburan dengan tema The View of Indonesia.

Awalnya lahan yang diminta untuk pembangunan Kebun Raya Batam seluas 87 hektar. Namun akhirnya disepakati luasnya 85 hektar, kata dia.

Menurutnya, nantinya diperlukan badan pengelola tersendiri yang akan mengelola Kebun Raya sesuai kesepakatan yang akan dibahas nantinya.

Hingga kini belum dipastikan siapa yang akan mengelola tempat tersebut. Bisa jadi nantinya akan ada badan khusus yang akan mengelolanya, kata dia.

Dia juga mengatakan kepastian pembangunan tersebut baru akan diketahui pada Akhir Mei 2013 nanti sesuai dengan nota kesepahaman yang sudah ditandatangani oleh BP Batam, LIPI, dan Pemkot Batam.(k17/yop)



» Arsip
» Diakses : 19 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

BANJIR DAN LONGSOR BISA DIPREDIKSI DAN DIANTISIPASI

Banjir dan Longsor Bisa Diprediksi dan Diantisipasi
Rabu, 27 Maret 2013

(Jakarta, 27 Maret 2013 Humas LIPI). Dengan waktu yang relatif bisa diprediksi, bencana banjir dan longsor sebetulnya bisa diantisipasi sehingga kerugian harta benda dan korban jiwa bisa diminimalisir. Sayangnya, selama ini, keterbatasan teknologi dan kemampuan penanggulangan bencana membuat banjir dan longsor selalu megakibatkan korban jiwa dan materi yang tak sedikit.

Banjir di Jakarta sudah ada sejak zaman pendudukan Belanda. Awalnya karena pembukaan kebun teh di Puncak. Peranan Puncak sudah bisa disimpulkan dari awal. Tutupan lahan di kawasan Puncak sangat mempengaruhi banjir di Jakarta, kata Dr. Robert M Delinom M.Sc., peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI sekaligus narasumber dalam Diskusi Publik Mitigasi Banjir dan Longsor yang diselenggarakan di Widya Graha LIPI, Kampus LIPI Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (26/3) kemarin.

Hadir sebagai narasumber lainnya dalam diskusi tersebut, antara lain Dr. Ir. Adrin Tohari M.Eng (peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI), Drs. Muh. Fakhrudin M.Si. (peneliti Pusat Penelitian Limnologi LIPI), dan Dr. Bambang Widyatmoko M.Eng. (peneliti sekaligus Kepala Pusat Penelitian Fisika LIPI).

Menurut Fakhrudin, banjir sangat dipengaruhi oleh curah hujan, tutupan lahan, dan sistem drainase. Curah hujan sulit untuk dikontrol. Sistem drainase dapat dikelola jika tutupan lahan dikelola dengan baik, jelasnya.

Ia menambahkan, pengendalian banjir harus terintegrasi dari hulu ke hilir dan dilakukan multi sektoral. Hal ini yang posisinya kurang kuat, ujarnya.

Bencana Longsor

Terkait dengan bencana longsor, Adrin Tohari menjelaskan, pulau Jawa merupakan daerah dengan kejadian tanah longsor tertinggi di Indonesia. Kerentanan bencana tanah longsor di Indonesia disebabkan oleh kemampuan memprediksi tanah longsor yang belum memadai, ujarnya.

Menurutnya, teknologi dengan pendekatan geoteknik dan geofisika dapat membantu menentukan gerakan tanah dalam skala lokal. Sangat membantu untuk menentukan lokasi dan waktu kejadian tanah longsor dalam skala regional, imbuhnya.

Sementara itu, Bambang Widiyatmoko lebih menyoroti ketergantungan peralatan sensor (tanah longsor) dari luar negeri sehingga sangat sedikit yang bisa dipasang. Pembiayaan pengembangan peralatan hanya bertumpu pada anggaran penelitian. Diperlukan pengembangan sendiri agar mudah dan murah dalam perawatan, katanya. Pusat Penelitian Fisika LIPI sendiri telah mengembangkan sensor dan sistem deteksi longsor.

Dikatakannya, sistem ini bekerja secara multi sensor yang meliputi sensor strain tanah, sensor curah hujan, sensor ekstensometer, dan sensor inklinometer dan ditempatkan di banyak titik. Sistem ini sudah diujicobakan di jalan tol Semarang-Ungaran, Jawa Tengah yang hasilnya dapat dipantau di Pusat Penelitian Fisika LIPI di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, pungkasnya. (fza/pwd)



» Arsip
» Diakses : 61 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

TIAP TAHUN PERMUKAAN TANAH JAKARTA MENURUN 5-15 MM

Tiap Tahun Permukaan Tanah Jakarta Menurun 5-15 mm
Rabu, 27 Maret 2013

Jakarta - Penurunan muka tanah Jakarta diperkirakan akan semakin meluas. Wilayah Jakarta Barat tergolong wilayah yang mendominasi penurunan muka tanah, dengan penurunan mencapai 5-15 mm per tahun.

Penurunan muka tanah atau amblesan tanah ini juga menjadi faktor pemicu penyebab banjir di Jakarta selain adanya perubahan tutupan lahan, kondisi geologi, dan perubahan iklim global.

Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Robert M Delinom mengatakan, penelitian tentang kondisi bawah permukaan di Jakarta dan Semarang mengharuskan upaya perubahan paradigma dan kebijakan.

Karenanya, LIPI bersama Research Institute for Humanity and Nature Kyoto melakukan penelitian sejak tahun 2006-2011 tentang banjir, penurunan air tanah, amblesan, polusi, dan interupsi air asin.

"Pengambilan air tanah di Jakarta dan Semarang mengakibatkan perubahan sifat fisik tanah dan terjadi banjir. Pengambilan air tanah mengurangi muka air tanah lebih dari yang kita perhitungkan," katanya dalam "Diskusi Publik bertema Mitigasi Banjir dan Longsor", di Widya Graha LIPI, Jakarta, Selasa (26/3).

Amblesan air tanah, lanjut Delinom, disebabkan pengambilan air tanah berlebihan, pembebanan konstruksi, kompaksi alamiah, dan aktivitas tektonik. Ia menyebutkan, sejak tahun 1879-2007 penyedotan air tanah (sumur) mendekati 4.000 sumur. Penyedotan air tanah pun mencapai 650.000 meter kubik per hari.

"Diperlukan kebijakan agar sumur-sumur ilegal tidak terjadi di Jakarta. Kalau dibiarkan, daerah rendah akan semakin meluas di Jakarta," ucapnya.

Jakarta memang sudah dilanda banjir sejak zaman pendudukan Belanda. Tercatat Jakarta yang dulu disebut Batavia sudah dilanda banjir pada tahun 1621, 1654, 1918, 1976, 1976 dan 1996. Kemudian banjir besar Jakarta pun terjadi di tahun 2002 dan 2007. Kerugian banjir pun luar biasa, tahun 2002 berdasarkan data konsultan Belanda NEDECCO mencapai Rp 10 triliun dan tahun 2007 berdasar data Bappenas Rp 8,8 triliun dan tahun 2013 diperkirakan mencapai Rp 15 triliun.

Ia pun menyarankan agar di kawasan Jakarta Barat yang tergolong mengalami penurunan tanah terbesar hanya diperkenankan dihuni bangunan ringan dan bukan bangunan berfungsi berat.

"Di wilayah tengah, seperti Pulogadung, Gambir boleh digunakan untuk bangunan bertingkat. Sedangkan wilayah selatan harus dijadikan daerah resapan dan zona penyangga air tanah. Diperlukan bangunan berhalaman luas dan bukan bangunan rapat-rapat," paparnya.

Penulis: R-15/NAD



» Arsip
» Diakses : 24 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

LIPI SIAPKAN TEKNOLOGI ATASI BANJIR JAKARTA

LIPI Siapkan Teknologi Atasi Banjir Jakarta
Rabu, 27 Maret 2013

Kuningan, Wartakotalive.com

Pemanfaatan teknologi diakui peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dapat menjadi solusi dalam pencegahan banjir di wilayah Jakarta.

Robert M Delinom, Peneliti P2 Geoteknologi LIPI, menyebutkan, saat ini wilayah DKI Jakarta terancam tenggelam akibat permukaan tanah yang terus amblas.

Penurunan muka tanah atau amblasan ini tercipta akibat pemanfaatan air tanah yang tidak terukur. "Lokasi wilayah yang mengalami amblasan terbesar adalah wilayah utara dan barat Jakarta. Amblesan di kedua wilayah ini mulai dari 10 cm sampai 25 cm per tahun," jelasnya saat ditemui Wartakotalive.com, Selasa (26/3/2013).

Dia mengatakan, terdapat tiga tingkatan amblasan, yakni amblasan rendah 9-10 cm per tahun, amblasan menengah 15 cm per tahun, dan amblasan tinggi 25 cm per tahun.

Sementara itu, Drs Muh Fakhrudin, Peneliti P2 Geoteknologi LIPI, menambahkan, pendekatan ekohidrologi dalam pengelolaan sumber daya air dapat mencegah banjir di Jakarta.

"Penerapan teknologi ekohidrologi ini ada dua cara, yaitu pemanfaatan situ/ danau dan pembuatan kolam perikanan di beberapa wilayah hulu atau selatan Jakarta," ujarnya.



» Arsip
» Diakses : 38 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

LIPI: PESISIR JAKARTA TIDAK COCOK UNTUK BANGUNAN TINGGI

LIPI: Pesisir Jakarta Tidak Cocok untuk Bangunan Tinggi
Rabu, 27 Maret 2013

Jakarta - Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Robert M Delinom mengungkapkan bahwa kondisi tanah pesisir Jakarta mudah ambles dan lebih rendah, sehingga tidak cocok untuk pendirian bangunan tinggi.

"Solusi untuk mengatasi banjir, Jakarta memang perlu dibuat zona bangunan. Daerah pesisir utara Jakarta tidak cocok untuk didirikan gedung-gedung tinggi, lebih cocok bangunan ringan saja karena tanahnya rapuh," kata Robert M Delinom di Jakarta, Selasa (26/3).

Ia mengatakan, pada dasarnya daerah Depok hingga Jakarta merupakan cekungan yang memang menyimpan air. Penyedotan air tanah yang berlebih, pembangunan yang sangat intensif, dan kegiatan manusia sehari-hari di wilayah tersebut selama mengakibatkan perubahan signifikan terhadap kondisi lingkungan bawah permukaan cekungan Jakarta.

Amblesan tanah yang meluas menyebabkan daerah luapan banjir bertambah. Hal tersebut karena air yang mengalir dari daerah hulu tidak terbendung dan air rob dari laut semakin tinggi karena penurunan tanah.

Menurut Robert, berdasarkan penelitian ambles tanah juga terjadi di wilayah Pantai Indah Kapuk (PIK) meski tidak terjadi banjir. "Karena sistem manajemen air yang baik daerah sana (PIK) tidak tergenang air, tapi pada dasarnya daerah sana pun turun tanahnya," katanya.

"Dari hasil penelitian, banjir tahun 2002 bukan karena curah hujan di daerah hulu yang tinggi, tetapi justru hujan di Jakarta yang tinggi, dan air tidak terserap di Jakarta tetapi justru 'parkir'" katanya.

Karena itu, menurut dia, solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi banjir di Jakarta yakni membuat zona bangunan sesuai dengan kondisi tanah.

"Wilayah pesisir kondisi tanahnya lebih cocok untuk zona sarana umum dengan bangunan ringan, wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Timur lebih cocok untuk zona bisnis dan perumahan dengan bangunan bertingkat. Daerah Jakarta Selatan sangat baik untuk dijadikan zona penyangga air tanah dengan bangunan berhalaman luas," ujar Robert.

Sebelumnya, ia mengatakan penyedotan air tanah secara berlebihan terbukti membuat beberapa lokasi di Jakarta mengalami tanah ambles hingga 25 sentimeter (cm) per tahun."Data GPS (Global Positioning System) hasil penelitian dengan ITB menunjukkan 'subsidence rate' (tanah ambles) bisa sampai 25 cm per tahun. Itu cukup tinggi untuk 'dislocation' dari suatu bangunan," katanya.

Berdasarkan data GPS tersebut, ia mengatakan ambles tanah tercepat antara 20 hingga 25 cm per tahun terjadi di sekitar Senayan, Gedung DPR di kawasan Jalan Gatot Subroto, Joglo. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab meluasnya banjir pada awal 2013.

Penulis: /ARD



» Arsip
» Diakses : 17 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

JAKARTA AMBLES 25 CM PER TAHUN

Jakarta Ambles 25 Cm Per Tahun
Rabu, 27 Maret 2013

JAKARTA - Penyedotan air tanah secara berlebihan terbukti menyebabkan tanah di beberapa lokasi di Jakarta ambles hingga 25 sentimeter per tahun, kata seorang peneliti. Amblesnya tanah di Jakarta mengakibatkan banjir tahun 2013 lebih luas dibandingkan 2007.

"Data global positioning system (GPS) hasil penelitian dengan ITB menunjukkan subsidience rate (tanah ambles) bisa sampai 25 cm per tahun. Itu cukup tinggi untuk dislocation dari suatu bangunan," kata peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Robert M Delinom, pada diskusi publik "Mitigasi Banjir dan Longsor" di LIPI, Jakarta, Selasa (26/3).

Selain itu, Robert menjelaskan berdasarkan data GPS tersebut, ambles tanah tercepat antara 20 hingga 25 cm per tahun terjadi di sekitar Senayan, Gedung DPR di kawasan Jalan Gatot Subroto, dan Joglo, Jakarta Barat. "Joglo, Senayan lebih cepat (ambles), terutama akibat pengambilan air tanah oleh hotel dan mal di sekitar lokasi,"ujar dia.

Lokasi lain yang juga mengalami ambles tanah 5 hingga 15 cm per tahun terjadi di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dan kawasan Jakarta Timur, seperti Duren Sawit dan Tambun, sementara di sekitar Kamal, Marunda, Sunter, dan Jagakarsa (Jakarta Selatan) stabil selama penelitian berlangsung. Robert mencatat Jakarta bagian barat memiliki rata-rata tingkat ambles yang tinggi, yakni di sekitar Pantai Mutiara dan Pantai Indah Kapuk.

"Karena manajemen air di daerah bangunan inilah yang menyebabkan kompleks ini tidak terlihat seperti kebanjiran, padahal itu tetap ambles," jelas Robert. Berdasarkan hasil penelitian bersama dengan ITB tahun 2000 hingga 2005, Robert mengatakan total penurunan ketinggian tanah terparah terjadi di daerah sekitar Daan Mogot yang mencapai hingga 70 cm. Dalam kurun waktu yang sama, Kalideres ambles hingga 40 cm, Ancol ambles lebih dari 30 cm, dan Kelapa Gading sekitar 30 cm. Di Jatinegara Timur, Kamal Muara, dan Cilincing ambles lebih dari 20 cm.

"Jika ingin melihat bukti yang jelas dari amblesnya tanah di Jakarta akibat penyedotan air tanah berlebih adalah tower di daerah Pasar Ikan, Jakarta Barat," lanjutnya. Penyedotan air tanah yang mengakibatkan amblesnya tanah di Jakarta, menurut Robert, membuat banjir di wilayah Jakarta pada 2013 menjadi lebih luas dibanding dengan banjir 2007.

Penyedotan air tanah di Jakarta sudah dimulai sejak zaman Belanda, dan penyedotan air tanah tercatat semakin cepat terjadi sejak tahun 1989 hingga 2007, dengan rata-rata 70.000 meter kubik per hari hingga meningkat hampir 10 kali lipat menjadi 650.000 meter kubik per hari. Sejarah Banjir Menurut peneliti di Geoteknologi LIPI, Robert Delinom, banjir di Jakarta terjadi sejak zaman pendudukan Belanda. Bencana besar yang tercatat terjadi pada tahun 1621, 1654, 1918, 1976, 1996, 2002, 2007, dan 2013.

Banjir pada 1918 terjadi akibat pembukaan kebun teh di Puncak, Bogor. "Hujan yang ekstrem ditambah tutupan lahan yang berubah tiba-tiba menyebabkan air larian begitu banyak, yang menyebabkan banjir," kata Robert.

M Fakhrudin, peneliti Geoteknologi LIPI, menambahkan data sejarah ini mengindikasikan bahwa risiko banjir di Jakarta memang besar. Secara alamiah, Jakarta merupakan muara dari 13 sungai. Dari waktu ke waktu, banyak terjadi degradasi lahan yang menyebabkan potensi banjir kian besar. Di Sungai Ciliwung, misalnya, tahun 1973 debit puncaknya 100 kubik/detik, sekarang sudah di atas 500-an kubik/detik.

Selain itu, secara alamiah kondisi topografi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Jakarta berpotensi menyebabkan banjir. Banjir di tahun 2000-an, yang terbesar adalah 2007 lebih daripada 2013. nyk/Ant/P-5



» Arsip
» Diakses : 41 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

Tuesday, March 26, 2013

LIPI BERENCANA BANGUN PUSAT KONSERVASI TUMBUHAN PESISIR

LIPI Berencana Bangun Pusat Konservasi Tumbuhan Pesisir
Senin, 25 Maret 2013

Batam (Antara Kepri) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bersama Kebun Raya Bogor berencana membangun pusat konservasi tumbuhan pesisir Indonesia di Kota Batam.

"DED (detail engineering design) sedang dibuat. Mudah-mudahan 2014 sudah dianggarkan di APBN," kata Kepala Dinas Tata Kota Batam Gintoyono Batong di Batam, Senin.

Sama seperti Kebun Raya Bogor, nantinya Kebun Raya Batam akan menjadi pusat konservasi dan penelitian tanaman. Bedanya jika di Bogor tanaman daratan dan pegunungan, maka di Batam lebih fokus pada tumbuhan pesisir.

Pemerintah Kota bersama Badan Pengusahaan Batam mempersiapkan lahan seluas 80-an hektare di Nongsa sebagai Kebun Raya Batam itu.

"Dalam RTRW, kawasan itu memang lahan konservasi, jadi cocok. Kebetulan hutannya juga masih bagus betul," kata dia.

Kebun Raya Batam akan ditempatkan di sekitar kawasan wisata Nongsa. Di sana terdapat danau dan sungai yang masih "perawan".

Nantinya, jika sudah jadi, maka Kebun Raya Batam menjadi hutan kota sekaligus tempat rekreasi keluarga.

Sebelumnya, pada pertengahan 2012, Pemkot Batam menandatangani nota kesepahaman dengan LIPI untuk membangun Kebun Raya Batam.

Usai menandatangani MoU, Ketua LIPI Lukman Hakim mengatakan pembangunan kebun raya di daerah diperlukan untuk melestarikan kekayaan hayati yang nyaris punah.

"LIPI merasa prihatin dengan habisnya lahan di Sumatra, Kalimantan dan Papua sebagai konsekuensi pembangunan tanpa memperhatikan konservasi alam," kata dia.

Diharapkan keberadaan kebun raya di daerah dapat melestarikan kekayaan hayati Indonesia.(Antara)



» Arsip
» Diakses : 58 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

ENERGI LISTRIK DARI SAMPAH POTENSIAL

Energi Listrik dari Sampah Potensial
Selasa, 26 Maret 2013

Sebanyak 270 sumur gas metana di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Bantargebang, Bekasi, menghasilkan listrik 10 megawatt per jam. Selain bermanfaat energi, usaha ini mendorong manajemen sampah terus membaik.

Bersama Jepang dan beberapa negara ASEAN, (Indonesia) saat ini terus mengupayakan kerja sama pemanfaatan sampah untuk listrik. Usaha ini menjadi kegiatan ekonomi hijau, kata Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lukman Hakim pada seminar Penguatan Kapasitas ASEAN dalam Pemanfaatan Landfill Gas Sampah di Jakarta, Selasa (5/3).

Seminar diprakarsai Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronika LIPI bekerja sama dengan Japan-ASEAN Integration Fund (JAIF). Menurut Lukman, Bantargebang menjadi salah satu contoh penerapan produksi listrik dari gas metana yang dipetik dari penumpukan dan pelapukan sampah.

LIPI mendorong untuk pengembangan yang lebih luas lagi di Indonesia, kata Lukman.

Sementara itu, Vice Managing Director TPST Bantargebang LF Lumbantoruan mengatakan, pembuatan 270 sumur gas sudah dimulai sejak tahun 2009. Wilayahnya mencakup tiga zona. Setiap zona memiliki luas 20 hektare-25 hektar, kata Lumbantoruan.

Menurut dia, pemanfaatan gas metana berasal dari sampah organik. Namun, sayangnya, saat ini sampah dari masyarakat belum terpilah.

Diperkirakan, volume sampah organik mencapai 55 persen. Selebihnya, sampah plastik dan sebagainya yang dimanfaatkan para pemulung.

Para pemulung ini turut berjasa memilah dan memanfaatkan kembali sampah nonorganik, kata Lumbantoruan. Lewat pemanfaatan sampah organik, volume total sampah jelas akan berkurang banyak.

Kemarin, beberapa ahli dari Thailand dan Jepang menjadi narasumber dalam seminar tersebut. Seorang ahli di antaranya Sirintornthep Towprayon dari King Mongkuts University of Technology Thonburi.

Belum tersosialisasi

Pemanfaatan sampah untuk memproduksi listrik itu juga sebagai upaya menekan laju pemanasan global. Selain itu, juga diharapkan manajemen sampah bagi negara berkembang seperti Indonesia menjadi alternatif pengembangan ekonomi hijau.

Kepala Balai Besar Teknologi Tepat Guna LIPI Yoyon Ahmudiarto mengatakan, pemanfaatan gas metana sampah atau landfill gas di Indonesia belum tersosialisasikan dengan baik. Padahal, energi yang bisa dihasilkan cukup besar.

Dari sampah diperoleh energi listrik yang besar dan memberi dampak positif bagi lingkungan, kata Yoyon. Di Indonesia, pemanfaatan sampah organik sebagai sumber energi sudah diwacanakan lama, tetapi hingga kini belum memberi kemajuan berarti.

Lumbantoruan mengatakan, tahun 2015, produksi listrik dari sampah Bantargebang diproyeksikan meningkat dari 10 megawatt menjadi 100 megawatt. Kenaikan yang signifikan. Kerja sama internasional juga dimanfaatkan untuk pengembangan usaha ramah lingkungan ini. (NAW)



» Arsip
» Diakses : 57 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

LIPI: SUMUR RESAPAN LEBIH EFEKTIF CEGAH BANJIR DARIPADA DEEP TUNNEL

LIPI: Sumur Resapan Lebih Efektif Cegah Banjir daripada Deep Tunnel
Selasa, 26 Maret 2013

Jakarta - Sebagian wilayah Jakarta menjadi langganan banjir setiap tahun. Untuk menangani banjir tersebut, Pemprov DKI Jakarta berencana membangun terowongan raksasa (deep tunnel). Namun program ini dinilai tidak akan efektif dibandingkan dengan sumur resapan.

"Jelas lebih efektif sumur resapan, karena secara dana deep tunnel membutuhkan dana yang jauh lebih tinggi daripada sumur resapan," ujar peneliti Limnologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhammad Fakhruddin dalam diskusi tentang mitigasi banjir dan longsor, di gedung LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (26/3/2013).

Gubernur DKI Joko Widodo sebenarnya juga telah meminta setiap gedung di Jakarta membangun sumur resapan. Hal itu dikatakannya saat membuat sumur resapan di halaman gedung Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, beberapa waktu lalu.

Namun menurut Fakhruddin, dibandingkan dengan proyek deep tunnel yang sedang digodok Pemprov DKI, lebih baik program sumur resapan dimassifkan di Jakarta. "Sumur resapan adalah solusi paling efektif penanganan banjir di Jakarta," katanya.

Ada beberapa hal yang menurut Fakhruddin menjadi dasar kenapa sumur resapan menjadi solusi yang sangat efektif untuk menangani banjir di Jakarta. Pertama, sumur resapan sangat efektif meresap air. Kedua, sumur resapan dapat menyerap air dalam waktu sangat singkat sehingga dapat mencegah terjadinya genangan air.

Ketiga, 100 persen air hujan bisa masuk ke dalam sumur resapan. Keempat, sumur resapan sangat sederhana dalam pembuatannya.

"Kelima dan keenam, sumur resapan sangat murah dan tidak mengganggu estetika," jelas Fakhrudin.

Apalagi hingga saat ini, lanjut dia, belum ada kajian bagaimana ketika terjadi gempa saat deep tunnel sudah dibangun, apakah kuat atau tidak terhadap goncangan tersebut. "Dan sumur resapan tidak punya risiko itu," cetusnya.

Faktor lain keunggulan sumur resapan dibanding deep tunnel, Fakhruddin melanjutkan, sumur resapan juga dapat digunakan sebagai recharge untuk air tanah. Amblesan tanah di Jakarta dalam 1 tahun rata-rata mencapai lebih dari 25 cm. Sehingga ketika tidak dilakukan upaya antisipatif apapun dalam 25 tahun ke depan, Jakarta akan tenggelam.

"Salah satu fungsi dari sumur resapan adalah mengendalikan amblesan itu. Ada kemungkinan Jakarta bisa dikendalikan agar tidak cepat tenggelam," pungkas Fakhruddin.

(rmd/nrl)



» Arsip
» Diakses : 26 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

MENGUATKAN DAYA SAING

MENGUATKAN DAYA SAING
Selasa, 26 Maret 2013

Oleh: Ahmad Sofyan1 & Zamroni Salim2
1Peneliti pada BPPT Kimia LIPI, 2 Peneliti pada Puslit Ekonomi LIPI

Daya saing merupakan salah satu parameter untuk menilai kemakmuran suatu bangsa dan inovasi sebagai salah satu komponen utamanya. Setelah hampir dua dasawarsa, kebanggaan bangsa ini kian redup dan daya saing bangsa pun seperti belum menemukan arah.

Banjirnya produk impor terutama sejak era perdagangan bebas menjadi salah satu indikator ketidakmampuan daya saing kita. Produk asing, terutama dari Cina membanjiri pasar dalam negeri.

Lebih diperparah lagi, produk pertanian dalam negeri yang didaftarkan untuk memperoleh perlindungan khusus (special safeguard) ke World Trade Organization (WTO) baru mencapai 13 produk, lebih rendah dibandingkan Malaysia (72 produk), Thailand (50 produk), dan Jepang mencapai 125 produk. Sedikitnya jumlah produk yang masuk special safeguard, menyebabkan Indonesia akan kesulitan melakukan langkah pengamanan produk-produk bahan pangan pokok pada kondisi ketidakseimbangan yang ekstrem di pasar dalam negeri.

Indikasi lain dari kelemahan daya saing nasional tercermin dari laporan World Economic Forum (WEF) tahun 2012 yang mencatat dari 144 negara, indeks daya saing global Indonesia mengalami penurunan dari peringkat 46 pada tahun 2011 menjadi urutan 50 pada 2012. Pelemahan daya saing nasional ini dikarenakan salah satunya adalah minimnya inovasi sebagai salah satu indikator penilaian daya saing.

Minimnya inovasi terlihat dari catatan World Intelectual Property Organization (WIPO), indeks inovasi global Indonesia hanya menduduki peringkat 100 (dari 141 negara) sebelumnya menduduki peringkat 99 (dari 125 negara), dibawah peringkat negara Asia Tenggara lainnya seperti Thailand (57), Brunei (53) dan Malaysia (32). Kondisi ini harus segera dibenahi.

Inovasi sebagai pembuka cakrawala ilmu pengetahuan dan dimensi baru terhadap imiginasi untuk keseharian hidup kita lebih bermakna dan betul-betul kaya begitu kata Dr. A.P.J. Abdul Kalam. Harapan besar mantan Presiden India tersebut merupakan kunci keberhasilan India sebagai kekuatan ekonomi dunia yang mampu bersaing dengan negara yang lebih dahulu maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang dan sejumlah negera Uni Eropa.

Kesuksesan Cina dalam menembus pasar global tidak lepas dari kepiawaiannya dalam memanfaatkan teknologi dan inovasi. India dan Cina mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas produk dalam negeri dengan pengembangan konsep inovasi berbasis masyarakat (grassroots innovation). Berdasarkan data alokasi anggaran untuk Research and Development (R&D), tampak bahwa Cina mengalokasikan dana 198.94 milyar dollar AS (1.6 persen), India 41.30 milyar dollar AS (0.85 persen), sementara Indonesia 2.41 milyar dolar AS (0.2 persen dari GDP) pada 2012.

Ketimpangan implementasi inovasi teknologi antar masyarakat dan skala produksi hasil inovasi yang masih bersifat lokal perlu diatasi dengan gerakan pemerataan melalui sinergitas dan kolaborasi seluruh pranata litbang, pelaku usaha dan pemerintah (regulator dan fasilitator). Besarnya anggaran untuk R&D adalah salah satu indikiasi keberpihakan pemerintah pada keberlangsungan daya saing bangsa.

Dukungan Politik

Ditengah arus globalisasi, kekayaan alam bangsa Indonesia cenderung dimanfaatkan oleh negara lain. Hal ini terlihat dari banyaknya kekayaan alam yang dikelola oleh perusahaan dan teknologi dari luar negeri, dan masih tingginya ekspor bahan mentah. Perekayasaan bahan baku menjadi produk yang lebih bernilai dan berdaya saing merupakan inti dari inovasi yang merupakan Hak Kekayaan Intelektual.

Sejatinya, Undang undang No 18/2002 telah melindungi inovasi sebagai bagian hak kekayaan intelektual tak berwujud. Sayangnya, aturan ini belum dibarengi dengan kebijakan pemerintah yang menjamin kemudahan melindungi hasil karya inovatif dan saluran aplikasinya.

Selain itu, perhatian para pengambil kebijakan baik legislatif maupun eksekutif terhadap inovasi masih perlu terus ditumbuhkan. Rumusan pembangunan untuk mencapai visi Indonesia 2025 dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembanguanan Ekonomi Indonesia (MP3EI) perlu lebih menyentuh pada masyarakat bawah untuk menciptakan pertumbuhan yang inklusif. Program sistem inovasi daerah (SiDA) harus mendapat dukungan nyata agar potensi lokal dapat dikembangkan secara optimal.

Langkah ini perlu dibarengi sinergitas pemerintah pusat yang didukung dengan kebijakan pemerintah daerah yang sangat diharapkan dalam mendukung implementasi karya inovasi agar mendorong tumbuhnya industri ataupun usaha kecil menengah sehingga mampu menggerakkan perekonomian masyarakat. Partisipasi masyarakat melalui pembinaan kemampuan dalam pendidikan formal dan pelatihan peningkatan kompetensi dalam mendukung kreativitas dan inovasi perlu mendapat porsi dalam program pembangunan nasional dan daerah. Pada awal tahun politik 2013 dalam menyongsong digelarnya pesta demokrasi lima tahunan, kita berharap inovasi mampu menjadi entry point dan isu strategis bagi partai politik.

Berkembangnya lagi industri strategis karya inovasi anak bangsa seperti pesawat terbang perlu segera mendapat dukungan politik dari pengambil kebijakan. Karya inovatif lainnya dalam bidang bioteknologi seperti penemuan varietas hortikultura yang unggul memerlukan dorongan pemerintah agar mampu diaplikasikan secara luas sehingga hasil riset tidak hanya sebagai menara gading. Itu semua memerlukan sinergi nyata antara akademisi, pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.

Kita patut bersyukur dalam resesi ekonomi dunia beberapa tahun terakhir ini, tidak memberikan dampak negatif pada ekonomi dalam negeri. Namun kita perlu terus memajukan daya saing bangsa ini melalui inovasi. Kita ingin bahwasannya harapan negeri ini sebagai negara dengan kondisi ekonomi yang mapan, tumbuh dan berkembang dan selanjutnya menjadi pelaku utama bisa diwujudkan.



» Arsip
» Diakses : 20 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

Friday, March 22, 2013

LIPI TELITI JEJAK MERANTI DI MURSALA

LIPI Teliti Jejak Meranti di Mursala
Jumat, 22 Maret 2013

TAPANULI TENGAH Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) meneliti jejak salah satu jenis spesies kayu meranti atau Hipterocarpus Sinereus di Hutan Pulau Mursala, Tapanuli Tengah (Tapteng).

Kayu berharga ini disebut-sebut sudah punah di alam dan hanya berada di pulau tersebut. Rencana penelitian ini disampaikan tim peneliti dari LIPI yang dipimpin oleh Yayan saat bertemu dengan Wakil Bupati Tapteng Sukran Jamilan Tanjung didampingi Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Pemkab Tapteng Darmi Siahaan, Rabu (20/3). Yayan sendiri turut didampingi timnya, Wihermanto, Rahmat, dan Serin Siahaan.

Dari catatan dan data literatur LIPI, endemi meranti jenis ini memang adanya di Pulau Mursala. Sementara sesuai catatan merah ICM (Integrated Conservation Management), salah satu lembaga konservasi alam internasional, meranti jenis ini ditetapkan sudah punah di alam, ungkap Yayan. Yayan menuturkan, jenis meranti yang akrab disebut lagan beras/bras pertama kali ditemukan pada tahun 1916 silam. Meskipun sempat dideskripsikan oleh peneliti dari luar negeri, data populasinya belum sempat diketahui. Karena itu, tim peneliti ingin membuktikan, apakah memang meranti ini sudah benar-benar punah di alam.

Apalagi, selama ini belum ada pihak yang menelitinya. Jika nanti jejak genetiknya bisa ditemukan kembali, seperti spesimen bijinya, maka LIPI akan mengembangkannya kembali atau melakukan penguatan populasi kembali. Rencananya, penelitian akan dilakukan selama dua pekan. Jika berhasil, kami akan kembalikan atau tanam kembali ke habitat aslinya. Kami sudah pernah melakukan hal seperti itu beberapa kali, ujar Yayan. Menurut Yayan, lagan beras/ bras memiliki nilai konservasi dan ekonomis yang sangat tinggi. Kayu ini bisa digunakan untuk konstruksi ataupun bahan pembuatan kapal.

Kalau ditemukan, kayu jenis ini bisa jadi spesies penting. Bahkan, tidak menutup kemungkinan peneliti internasional juga akan datang melakukan penelitian lebih dalam, ungkapnya. Kepala Dishut Pemkab Tapteng Darmi Siahaan juga meminta LIPI meneliti jejak pohon kapur barus di Barus, Tapteng. Sebab, saat ini Pemkab Tapteng memiliki program untuk membudidayakan pohon langka tersebut. jonny simatupang



» Arsip
» Diakses : 33 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

PERUBAHAN IKLIM DAN ENERGI BERSIH

Perubahan Iklim dan Energi Bersih
Jumat, 22 Maret 2013

Fenomena cuaca ekstrim di sejumlah negara belakangan ini, mulai dari Amerika, Filipina, China, maupun di sejumlah daerah di Indonesia telah menimbulkan kesadaran yang lebih komprehensif akan pengaruh aktivitas manusia terhadap perubahan iklim. Beberapa ahli menyebutkan butuh data yang lebih banyak apakah memang iklim sedang mengalami perubahan yang tidak wajar karena adanya intervensi aktivitas manusia? Ataukah perubahan yang terjadi sekarang merupakan pola berulang dalam rentang periode tertentu. Sebuah solusi sederhana telah disampaikan oleh Greg Craven, dalam bukunya What's the Worst That Could Happen?: A Rational Response to the Climate Change Debate.

Ada empat kemungkinan yang akan terjadi di masa depan, yaitu: Isu perubahan iklim tidak benar tapi diantisipasi; perubahan iklim tidak benar dan tidak ada antisipasi; perubahan iklim benar dan dilakukan antisipasi; perubahan iklim benar tapi tidak ada antisipasi. Ternyata kerugian yang ditimbulkan apabila perubahan iklim benar tapi tidak ada langkah antisipasi akan jauh lebih besar dibanding perubahan iklim tidak terjadi tapi sudah ada langkah antisipasi. Mengenai permasalahan ini, pemerintah pun tidak mau mengambil resiko. Hal ini terlihat dari pembentukan lembaga seperti Dewan Nasional Perubahan Iklim tahun 2008 dan dikeluarkannya Perpres. No. 61 tahun 2011 tentang rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca.

Pemerintah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca 26 persen dengan usaha sendiri atau mencapai 41 persen dengan bantuan internasional pada tahun 2020. Lembaga pemerintah lain seperti Badan Standarisasi Nasional pun turut mengadopsi ISO 14064-series dan ISO 14065 tentang kuantifikasi, validasi dan verifikasi serta pelaporan dari emisi dan penghilangan gas rumah kaca. Di Indonesia, sektor kehutanan dan lahan gambut memiliki target pengurangan emisi terbesar yaitu 0,672Giga ton CO2e untuk target 26 persen. Untuk memperkuat pengurangan emisi di sektor ini, pemerintah juga membentuk Satgas REDD+, yaitu reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan yang merupakan skema global berupa insentif kepada negara berkembang. Walaupun output-nya banyak dinilai belum optimal, lembaga ini telah meletakan dasar-dasar tentang mekanisme pengelolaan hutan lestari.

Selain sektor kehutanan dan lahan gambut, sektor energi menjadi salah satu perhatian dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Penggunaan bahan bakar fosil baik oleh sektor industri maupun transportasi telah berkontribusi signifikan atas kenaikan jumlah CO2 di atmosfer.

Menyangkut energi bersih, dewasa ini berbagai lembaga riset dan universitas sedang dan terus melakukan penelitian untuk mengembangkan energi terbarukan seperti energi matahari, angin, air dan bioenergi. Bioenergi salah satu energi terbarukan yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan, khususnya biosolar dan biogasoline, dikarenakan keduanya dapat digunakan pada mesin tanpa memerlukan modifikasi signifikan. Dalam perjalanannya bioenergi ini menghadapi beberapa kendala antara lain adalah kebijakan penggunaan lahan. Menurut data Kementerian Kehutanan ada sekitar 30 juta lahan kritis saat ini. Dengan kebijakan yang tepat, lahan ini sangat berpotensi ditanami tanaman bioenergi tanpa adanya kekhawatiran bersaing dengan tanaman pangan. Dengan luasnya lahan kritis ditambah belum optimalnya penggunaan lahan terutama di Indonesia Timur merupakan potensi besar pengembangan bioenergi secara terpadu.

Sebagai contoh, saat ini beberapa pihak sudah mulai mengembangkan tanaman sorgum manis yang berpotensi sebagai biogasoline dengan biaya pengolahan yang relatif murah dibanding sumber lainnya. Dengan lahan yang begitu luas, Indonesia tidak hanya berpotensi swasembada pangan tetapi sekaligus menjadi lumbung bioenergi. Faktor penghambat lain perkembangan bioenergi dan yang paling krusial adalah harga BBM bersubsidi. Harga keekonomisan bioenergi masih jauh diatas harga BBM bersubsidi. Persoalan muncul karena dengan menaikan harga BBM akan menimbulkan efek domino. Dalam hal inilah perlu kesadaran semua pihak, bahwa seperti diketahui tahun ini subsidi BBM akan mendekati angka 300 triliun rupiah.

Adapun penikmat terbesar subsidi BBM adalah golongan menengah keatas, terutama mereka yang memiliki mobil pribadi. Jadi sudah selayaknya apabila subsidi ini dikurangi dan dialokasikan untuk sektor lain seperti kesehatan, penciptaan lapangan kerja dll. termasuk pengembangan bioenergi, alih-alih hanya dibakar sebagai BBM saja. Subsidi pengembangan bioenergi akan menguntungkan, karena semakin menipisnya cadangan energi fosil, kenaikan harga minyak dunia dalam jangka panjang adalah suatu keniscayaan.

Mengurangi subsidi BBM berkaitan erat dengan penghematan dan penggunaan BBM secara bijak yang berkorelasi pula dengan pengurangan pencemaran udara akibat gas buang kendaraan. Udara yang lebih bersih akan mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat secara umum dan tentu saja meminimalkan dampak perubahan iklim karena gas rumah kaca yang terkandung dalam gas buang pun akan berkurang. Sehingga, untuk mencari solusi dari dampak perubahan iklim saat ini dibutuhkan kesabaran dan kolaborasi berbagai institusi baik pemerintah maupun swasta dalam pengembangan inovasi teknologi disertai kesadaran kita untuk turut dalam upaya mereduksi gas rumah kaca.

Roni Maryana
Peneliti UPT Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia



» Arsip
» Diakses : 16 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

BAHAN BAKU OBAT DARI ALAM

Bahan Baku Obat dari Alam
Jumat, 22 Maret 2013

Oleh : NAWA TUNGGAL

Trenggiling (Manis javanica) kerap diselundupkan ke luar negeri seperti China. Ternyata, trenggiling berpotensi menjadi bahan baku obat dengan kandungan omega-3 dalam EPA dan DHA yang mengurangi risiko kanker, menurunkan peradangan, hipertensi, artritis, serta menjaga fungsi otak.

Para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menuangkan penelitian mereka dalam buku "Bioresources untuk Pembangunan Hijau" tahun 2013.

Salah satunya tentang manfaat trenggiling. Sisik hewan itu mengandung tramadol HCL, zat aktif yang bersifat analgesik (mengatasi nyeri). Tramadol HCL juga terdapat pada psikotropika sabu.

Selama ini sebagian masyarakat meyakini, sisik trenggiling bisa menyembuhkan demam, penyakit kulit, dan penyakit kelamin. Mengonsumsi dagingnya pun diyakini berkhasiat afrodisiak (meningkatkan libido).

Industri dalam negeri belum mampu meraih peluang menjadikan kekayaan hayati menjadi bahan baku obat, kata peneliti utama biologi LIPI, Endang Sukara.

Contoh lain adalah jamur yang tumbuh di sekitar kandang sapi yang dikenal sebagai magic mushroom. Menurut peneliti LIPI, jamur ini berpotensi menjadi bahan baku obat antidepresi. Zat aktif antidepresan yang terkandung dalam jamur ini adalah psilocybin dan psilocin. Senyawa kimia itu juga digunakan untuk menurunkan kecemasan penderita kanker, selain mengurangi rasa sakit.

Bahan antibiotik

Impor bahan baku obat Indonesia didominasi bahan baku obat antibiotik. Padahal, bahan baku antibiotik melimpah di Indonesia. Alam kita kaya akan mikroorganisme aktinomisetes yang digunakan untuk dua per tiga produksi antibiotik di dunia. Saat ini LIPI punya 3.500 isolat murni aktinomisetes.

LIPI juga mengoleksi 200 isolat jamur endofit. Di antaranya Diaporthe sp yang berasosiasi dengan tumbuhan gambir (Uncaria gambier). Jamur itu mengandung epitoskirin A yang memiliki sifat antibiotik.

Binatang amfibi seperti katak juga memiliki kandungan bioaktif. Sekresi kulit katak cakar afrika mengandung peptida sebagai bahan antibiotik.

Ekstraksi kulit katak juga mengandung alkaloid yang dapat digunakan sebagai pengganti morfin untuk menghilangkan nyeri. Selain itu, ekstraksi kulit katak juga mengandung zat yang mampu mengaktifkan kelenjar pankreas yang dapat digunakan sebagai obat antidiabetes untuk menstimulasi insulin.

Manfaat jenis amfibi lain seperti salamander juga diteliti. Hewan yang mampu meregenerasi sel sangat cepat itu mengandung zat aktif potensial untuk penyembuhan luka secara cepat.

Beberapa jenis laba-laba (Arachnida) juga diteliti. Ternyata, laba-laba memiliki potensi sebagai bahan baku obat untuk mengatasi perdarahan. Secara empiris, masyarakat telah lama menggunakan kantong telur dan jaring laba-laba untuk menghentikan perdarahan.

Perlu ahli identifikasi

Deputi LIPI Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Siti Nuramalijati Prijono mengatakan, kini masih dibutuhkan keahlian khusus untuk mengidentifikasi kekayaan hayati yang berpotensi memiliki kandungan zat aktif untuk bahan baku obat. Industri farmasi juga perlu dirangsang untuk melakukan riset dan pengembangan.

Sebagaimana keanekaragaman tanaman berbunga, Indonesia juga memiliki kekayaan jenis lebah. Secara tradisional, bisa (venom) lebah digunakan antara lain untuk terapi rematik, artritis, sakit pinggang, dan sakit kulit.

Cairan bisa lebah ternyata mengandung apamin, melitin, fosfolipase, dan hyaluronidase yang mampu menekan sistem saraf, menstimulasi hati dan kelenjar adrenal.

Venom juga mengandung enzim fosfolipase A dan asam amino kaya sulfur metionin dan sistein. Sulfur merupakan elemen utama dalam pelepasan kortisol dari kelenjar adrenal untuk melindungi tubuh dari infeksi.

Bioaktif dari beragam jenis lebah perlu diidentifikasi lebih lanjut. Ini mengingat banyaknya jenis lebah di Indonesia.

Berbagai jenis cacing juga memiliki manfaat sebagai bahan baku obat. Cacing tanah Helodrilus caliginosus, Helodrilus foetidus, Lumbricus terrestris, dan Lumbricus rubellus berkadar protein tinggi, 64-76 persen. Ekstrak jenis-jenis cacing ini bisa digunakan untuk mengobati tifus.

Ular di Indonesia ada setidaknya 347 jenis. Secara tradisional masyarakat memanfaatkan ekstrak ular weling (Bungarus candidus) untuk menurunkan tekanan darah. Hasil penelitian menunjukkan, tulang ular weling menyebabkan kalsium bersifat asam.

Setelah mengonsumsi daging ular, darah bersifat alkali lemah. Darah yang kotor akan menjadi bersih sehingga aliran darah lancar.

Masih banyak manfaat kekayaan hayati yang bisa ditemukan lewat penelitian. Tantangannya adalah apakah hasil penelitian itu bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh dunia industri. Hal ini kembali pada komitmen pemerintah, kebijakan apa yang dibuat untuk mendorong penelitian dan produksi bahan baku obat berbasis kekayaan hayati kita tersebut.



» Arsip
» Diakses : 23 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

LIPI: RESI GUDANG BISA ATUR PASOKAN BAWANG

LIPI: Resi Gudang Bisa Atur Pasokan Bawang
Jumat, 22 Maret 2013

INILAH.COM, Jakarta - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyarankan kepada pemerintah agar membuat sistem resi gudang sehingga di saat produksi turun pasokan bawang tetap lancar.

Demikian disampaikan Peneliti LIPI, Dhani Agung kepada INILAH.COM di Jakarta, Jumat (22/3/2013). "Prosesnya memang agak rumit, tapi untuk mensiasati di saat tidak musim, resi gudang cukup efektif mengatasi kekurangan pasokan dan efektif mengontrol harga," kata Agung.

Menurut Agung, dengan adanya sistem resi gudang tersebut pemerintah bisa mengatur pasokan, meski di saat yang sama produksi sedang menurun. Musim tanam hingga produksi bawang terjadi pada bulan Mei hingga Oktober.

"Untuk dua sampai tiga bulan penyimpanan saya rasa bisa, tapi untuk lebih dari tiga bulan tidak bisa. Pasalnya bawang merupakan komoditas pangan yang tidak bisa disimpan untuk waktu yang lama," kata Agung.

Meski pada pelaksanaanya sistem resi gudang terbilang rumit, dirinya menyarankan kepada pemerintah agar memberikan sosialiasi dan pelatihan kepada petani. "Hanya perlu sedikit sosialisasi dan pelatihan saja, tapi dengan adanya resi gudang ini akan menjadi buffer stock di saat tidak musim," kata Agung. [hid]



» Arsip
» Diakses : 15 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

Thursday, March 21, 2013

LIPI – BNTU BELARUSIA JALIN KERJASAMA

LIPI BNTU Belarusia Jalin Kerjasama
Rabu, 20 Maret 2013

(Jakarta, 20 Maret 2013 Humas LIPI). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjalin kerja sama di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi dengan The Belarusian National Technical University (BNTU) Belarusia.

Hal tersebut ditandai dengan penandatangan nota kesepahaman antara LIPI yang diwakili oleh Kepala Biro Kerja sama dan Pemasyarakatan Iptek (BKPI), Dr. Bogie Soedjatmiko Eko Tjahjono dengan wakil dari BNTU yakni Dr. Yuri Aliakseyeu, Managing Director Scientific and National Park of BNTU, Selasa (19/3) kemarin, di Sasana Widya Sarwono, Kampus LIPI Gatot Subroto, Jakarta.

Kerjasama ini mencakup penyelenggaraan pelatihan dan workshop, pertukaran peneliti dan tenaga ahli, proyek penelitian, serta pameran ilmiah.

BNTU sendiri merupakan institusi pendidikan terbaik di Belarusia dalam bidang teknik yang berdiri sejak tahun 1920. Salah satu sivitasnya yakni Prof. Zhores Alferov adalah penerima hadiah Nobel untuk bidang fisika pada tahun 2000.

Untuk bidang kerjasama internasional, BNTU telah bekerja sama dengan banyak lembaga riset terkemuka di Austria, Inggris, Jerman, Cina, Korea, Rusia, dan lain-lain. (fza/pwd)



» Arsip
» Diakses : 51 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

PEGIAT KOMUNITAS MBATIK YUUUK, MENYANDANG 5 GELAR SARJANA

Pegiat Komunitas Mbatik Yuuuk, Menyandang 5 Gelar Sarjana
Kamis, 21 Maret 2013

Metrotvnews.com: Di balik kebiasaannya sehari-hari mengenakan kebaya dan jarit, serta mengajak orang membatik lewat komunitas Mbatik Yuuuk, Indra Tjahjani, 57, juga menyimpan lima gelar sarjana.

Indra bergelar insinyur dari ilmu arsitektur lanskap, sarjana sastra dari ilmu bahasa Inggris, master dari arsitektur lanskap, dan juga sistem informasi manajemen, serta doktor dalam bidang perencanaan lingkungan.

Selain itu, Indra mengabdikan lebih dari 30 tahun bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), termasuk memimpin program pembangunan jaringan teknologi informasi LIPI seluruh Indonesia hingga kemudian pensiun pada 2011.

"Saya pernah tertarik melamar jadi peneliti, dua kali, dan semuanya ditolak karena alasan yang tidak jelas," kisah Indra.

Dari kecil, Indra mengaku terbiasa bersekolah sembari bekerja mencari uang. "Kemudian setelah dewasa, ingin merasakan kuliah yang dibiayai. Saya dapat beasiswa untuk S-2 di Melbourne University (Australia) dan S-3 di Canberra University (Australia)," tuturnya.

Pilihan program S-2 lainnya, yakni bidang sistem informasi manajemen, aku Indra, dipilih untuk bertahan hidup. "Saya mengambil S-2 sistem informasi manajemen itu karena kebutuhan pasar. Dengan itu, saya bisa menyekolahkan ketiga anak saya saat ayah mereka terkena pemutusan hubungan kerja tanpa pesangon," cerita Indra bersemangat.

Kini, Indra masih aktif mengajar beberapa bidang yang sesuai gelar-gelarnya, antara lain, arsitektur lanskap, e-business, sistem informasi manajemen, termasuk bidang-bidang komunikasi, hubungan internasional, dan desain komunikasi visual.

"Jadi, benang merahnya dari pendidikan dan batik adalah selain peduli akan pelestarian warisan budaya, saya juga pendidik yang senang berbagi," kata dia.

Di usianya sekarang ini, Indra mengaku masih menyimpan keinginan untuk kembali lagi ke bangku kuliah. Sekolah atau kuliah, bagi dia, bukanlah beban, melainkan jalan untuk menambah wawasan dan ilmu baru.

Saat ini, Indra mengaku tengah mencari beasiswa untuk program postdoctoral. "Saya punya keinginan untuk melihat Jepang sehubungan dengan postdoctoral itu, tapi entah kapan. Mengumpulkan data tentang batiknya belum selesai-selesai," ucap dia seraya mengutarakan ingin mengambil pilihan bidang kuliah berikutnya yang berkaitan dengan batik, kecintaannya.

Editor: Retno Hemawati



» Arsip
» Diakses : 41 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article