Friday, June 21, 2013

MEMANFAATKAN POTENSI SUMBERDAYA IKAN SIDAT UNTUK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR

Category: Berita Teknologi Sumberdaya Alam & Kebencanaan

Ikan Sidat (eel) merupakan salah satu ikan komersial penting dibanyak negara, baik di negara bagian timur atau barat. Selain rasanya yang unik, juga memiliki nilai gizi yang baik. Saat ini Jepang merupakan konsumen dan importir ikan Sidat terbesar di dunia. Bila dilihat dari keseluruhan 18 spesies yang ada, 12 spesies diantaranya ada di perairan Indonesia. Hal tersebut diuangkapkan oleh Direktur Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Isman Tony Justanto saat membuka Focus Group Discussion “Peran Riset, Teknologi Budidaya Pemasaran Hasil dalam Upaya Memanfaatkan Potensi Sumberdaya Ikan Sidat untuk Pengembangan Wilayah Pesisir” di Komisi III BPPT (20/6).

Pada kesempatan yang sama Direktur Perbenihan Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), Djumbuh Rukmono memberikan paparan tentang Kebujakan Ekspor Benih Sidat di Indonesia. Menurutnya larangan pengeluaran benih Sidat sampai ukuran 150 gram yang tidak dibarengi solusi teknis petunjuk pemeliharaannya, menyebabkan banyak pelaku bisnis berbuat nakal dengan mengirimkan benih Sidat langsung ke luar negeri.

“Kebijakan tersebut nampaknya harus dikaji lagi agar bisa sesuai yang diharapkan dan para pelaku nakal di bisnis ini akan sedikitnya berkurang. Sidat ini sangat potensial, apalagi indonesia dengan kekayaan lautnya sangat mungkin untuk bisa bersaing dengan negara-negara lain dalam budidaya  Sidat,” ungkapnya.

Selain itu, Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), yang juga mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri memberikan paparan tentang Status Terkini Budidaya Ikan Sidat di Indonesia. Dirinya mengatakan bahwa sejak 3 tahun lalu Jepang mulai mengalami kelangkaan shirasu/glass eel, hal ini menyebabkan banyaknya permasalahan seperti penangkapan illegal, impor unagi jenis lain, para pengusaha pun juga mengalami kesulitan.

“Dilihat dari sisi pasar, harusnya Ikan Sidat ini dijadikan komoditas strategis seperti udang. Di dunia kebutuhan Sidat ini mencapai 400.000 ton, sedangkan suplainya baru 270.000 ton jadi tidak seimbang antara kebutuhan dan ketersediaannya. Hal tersebut sangat potensial untuk Indonesia, karena sangat mungkin Sidat ini dibudidayakan di sini,” paparnya.

Rokhmin juga mengatakan jika sebaiknya para pengusaha Indonesia bisa mengimpor bahan jadi atau Sidat yang sudah diolah menjadi Kabayaki, karena menurutnya hal tersebut akan lebih menguntungkan. Selain itu dia berharap agar diatur ekspor Sidat sebaiknya diperbolehkan diatas 200 gram dalam keadaan tidak hidup atau sudah diolah.

“Aturan tersebut perlu untuk dikaji, karena penting bagi keberlanjutan sumberdaya benih Sidat tropis, penyediaan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat pelaku usaha budidaya serta pengolah Sidat agar industri budidaya dari hulu ke hilir bisa berkembang,” pungkasnya.

Kepala Bidang Insentif Ristek, Hary Soebagyo juga memberikan paparan mengenai Sinergi Riset antar Akademisi, Pebisnis dan Pemerintah. Lalu hadir juga Odilia Rovara dari Pusat Teknologi Sumberdaya Lahan BPPT yang memaparkan Riset Sidat Di Indonesia dan Kawasan Budidaya. (SYRA/Humas)



View the Original article

No comments:

Post a Comment