Tuesday, August 13, 2013

SRI ASTUTIK, ‘IBU ASUH’ TUMBUHAN

Sri Astutik, Ibu Asuh Tumbuhan
Selasa, 13 Agustus 2013

Sekilas, Sri Astutik (40), Pemenang III Kompetisi Wanita Karier BII Femina 2012/2013, tampak seperti sosok yang pemalu dan low profile. Tapi, kesan itu berubah 180 derajat ketika ia bercerita tentang pekerjaannya sebagai peneliti tumbuhan di Unit Pelaksana Teknis Badan Konservasi Tumbuhan (UPT BKT) Kebun Raya Cibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pancing saja ia dengan pertanyaan mengenai kondisi keanekaragaman hayati dan kehutanan di Indonesia. Ia akan langsung menjawab dengan sorot mata berbinar-binar dan gaya bicara yang lugas. Passion dan penguasaan ilmunyalah yang memikat hati para juri Kompetisi Wanita Karier BII Femina 2012/2013.

Wanita yang akrab dipanggil Tutik ini membuktikan, dipadukan dengan ilmu pengetahuan dan kerja keras, passion bisa jadi bahan bakar yang menyulut semangat kita untuk tak pernah lelah berkarya. Buktinya, meski baru lima tahun berkarier sebagai peneliti di Kebun Raya Cibodas, Tutik sudah mengukir banyak prestasi.

Tahun 2010 misalnya, ia memperoleh penghargaan Young Scientist Award dari Man and Biosphere UNESCO. Saat itu, ia melakukan penelitian mengenai hubungan karbon dengan keanekaragaman hayati di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, yang merupakan zona utama cagar biosfer Cibodas. Tak hanya itu, di tahun yang sama, ia juga pernah mewakili Indonesia untuk program beasiswa short course Nature Protection & Conservation of Biodiversity dari UNEP/UNESCO/BMU.

Tumbuhan itu jenis organisme yang menakjubkan. Baik dari aspek sejarah, manfaat, prospeknya bagi kehidupan masa depan, sekaligus esensinya yang mendasar dalam fungsinya menyerap karbon dari udara, papar sarjana pertanian dari Universitas Jember ini. Tumbuhan memang satu-satunya makhluk hidup yang bisa menyerap karbon dari udara dan mengolahnya menjadi bahan yang membuatnya tumbuh besar dan menghasilkan kandungan yang bermanfaat bagi manusia.

Hal itulah yang membuatnya jatuh cinta pada dunia riset dan konservasi tumbuhan. Konservasi tumbuhan merupakan bidang yang sangat menarik. Karena, Indonesia sendiri termasuk mega biodiversity dunia. Namun, positioning ini tidak akan berarti jika kita mengabaikan kelestarian tumbuhan dan hutan, ujar Tutik, antusias.

Itulah lingkup tugasnya sebagai peneliti tumbuhan. Tak hanya meneliti, tapi juga melakukan upaya konservasi dan restorasi tumbuhan asli Indonesia. Karena ia bertugas di Kebun Raya Cibodas, fokus riset, konservasi, dan restorasinya adalah pada tumbuhan dataran tinggi basah.

Biasanya saya akan pergi ke hutan untuk mengambil spesies tumbuhan yang jumlahnya makin berkurang. Lalu, tumbuhan itu akan saya teliti apa manfaatnya, dan dikonservasi di UPT BKT Kebun Raya Cibodas. Setelah itu, tumbuhan tersebut akan direstorasi, dikembalikan ke habitatnya sebagai upaya pemulihan suatu kawasan, sehingga bentuknya mendekati ekosistem asli, jelas Tutik. Meski begitu, hingga saat ini tugasnya lebih banyak fokus pada upaya riset dan konservasi.

Tulus Berbagi Ilmu

Wanita lulusan S-2 Biologi, Institut Teknologi Bandung ini memandang, kelestarian tumbuhan adalah masalah yang krusial dari dunia tumbuhan dan kehutanan Indonesia saat ini. Meski jenisnya banyak, kalau jumlahnya sedikit, sih, percuma saja. Oleh karena itu, kita juga perlu mewaspadai masalah deforestasi atau penebangan hutan. Karena, ketika deforestasi meningkat, jumlah dan jenis keanekaragaman tumbuhan di Indonesia juga pasti berkurang, paparnya, prihatin.

Padahal, hutan asli adalah unsur alam yang sangat krusial, terutama dalam upaya konservasi. Kebun raya sendiri hanya bertugas menopang proses konservasi. Pada banyak kasus, hutan ditebang untuk dijadikan pertambangan batu bara atau perkebunan. Tapi, ketika sumber batu baranya habis, kita membutuhkan waktu 350 tahun untuk memulihkan hutan tersebut. Itu pun tidak mungkin bisa sama seperti aslinya, ujar wanita kelahiran Nganjuk, 4 Juli 1973, ini.

Upaya penghijauan atau pelestarian hutan pun tidak cukup hanya dengan menanam sebanyak-banyaknya pohon, tapi juga perlu memperhatikan kelestarian keanekaragaman hayatinya. Dan masalah deforestasi ini baru bisa diatasi dengan komitmen politik pemerintah.

Tak hanya sibuk meneliti dan mengonservasi, Tutik juga ingin memberi kontribusi nyata kepada masyarakat. Karena itu, sejak awal 2013 ia mendirikan Giri Jagad Community, komunitas kewirausahaan sosial yang berupaya memberdayakan masyarakat petani di kawasan cagar biosfer Cibodas.

Sebenarnya, masyarakat sudah membentuk komunitas ini secara independen sejak sebelum tahun 2013. Saya hanya memfasilitasi kebutuhan mereka lewat komunitas yang lebih well organized, sehingga perkembangannya pun lebih terarah, papar Tutik, yang juga aktif di Indonesian Social Entrepreneurship Community (ISEC).

Lewat Giri Jagad Community ini ia memang ingin membuat terobosan bagaimana ilmu konservasi bisa berperan dalam upaya mengembangkan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dedikasinya terhadap pengembangan komunitas ini berbuah penghargaan Top 20 Community Entrepreneur Challenge Wave III, pada tahun 2012.

Tutik menganggap, memberikan pendidikan lingkungan kepada masyarakat juga tugas penting yang tak boleh ia abaikan. Saya tidak ingin dunia saya terbatas pada hutan dan kebun raya saja. Saya juga tidak ingin jika penelitian saya sekadar berhasil memenangkan penghargaan atau dimuat di jurnal ilmiah internasional. Memang itu prestasi yang membanggakan. Tapi, saya akan jauh lebih senang jika ilmu yang saya punya dapat menjangkau lebih banyak lapisan masyarakat dan memberikan manfaat yang nyata bagi orang lain, ungkapnya.

Ia sadar, jalannya untuk mewujudkan cita-cita itu masihlah sangat panjang. Ia pun perlu modal ilmu dan networking yang cukup. Tak mengherankan, ia gemar menantang diri dengan mengikuti berbagai kompetisi, termasuk Kompetisi Wanita Karier BII Femina 2012/2013. Saat ini, ia juga tengah mempersiapkan diri untuk melanjutkan program studi S-3 International Forestry and Forest Product di Jerman.

Bahkan, sejak tiga bulan lalu ia sedang kursus bahasa Inggris, English for Academic Study, secara intensif di Denpasar, Bali. Tidak pernah ada kata cukup untuk ilmu. Saya ingin sekolah sampai jenjang yang tertinggi, ujarnya, bersemangat. Semua itu demi mewujudkan cita-cita terbesarnya, menjadikan riset sebagai dasar dalam pembuatan kebijakan mengenai kehutanan dan lingkungan di Indonesia.



» Arsip
» Diakses : 21 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

No comments:

Post a Comment