Thursday, July 17, 2014

Kulit punya reseptor bau untuk sembuhkan luka

Jakarta (ANTARA News) - Sebuah studi terbaru dari Jerman menunjukkan, hidung bukanlah satu-satunya bagian tubuh yang memiliki reseptor untuk mencium bau. Nyatanya, kulit juga memiliki reseptor ini.

Hanya saja, tidak seperti reseptor pada hidung, reseptor di kulit tidak memicu emosi di otak, namun, justru berperan menyembuhkan kerusakan selnya (luka). 

Jurnal New Scientist melaporkan, dalam sebuah studi, Hanns Hatt dan pihak laboratorium Universitas Ruhr Bochum di Jerman menemukan, ketika keratinosit -- jenis kulit utama yang digunakan sebagai objek studi--dicampur dengan Sandalore selama lima hari dalam tabung reaksi, reproduksi sel meningkat sebesar 32 persen dan migrasi sel meningkat hampir setengahnya. Kedua proses ini diperlukan untuk memperbaiki kulit yang rusak.

Sandalore merupakan minyak cendana sintetis yang sering digunakan dalam parfum. 

Menurut mereka, normalnya, ketika Anda mencium sesuatu dengan hidung, reseptor bau mengirim pesan ke otak Anda. Hal ini dapat mengingatkan otak soal bahaya, relaksasi, atau bahkan mendetekasi adanya pasangan yang potensial.

Berbeda dengan reseptor bau di hidung, Hatt dan timnya menemukan, reseptor bau di kulit memicu sel-sel kulit untuk memperbaiki kerusakan dasar padanya.

Sementara itu, menurut Joel Mainland dari Monell Chemical Senses Center di Philadelphia, meskipun ada kecenderungan besar reseptor bau yang ditemukan di bagian tubuh lainnya melakukan fungsi lain, fakta soal reseptor ini memperbaiki luka cukup mengejutkan.

Menurut Mainland, konsentrasi yang dibutuhkan untuk mencapai perbaikan ini jauh lebih tinggi daripada yang digunakan untuk mengaktifkan reseptor di hidung. Dia mengatakan, dalam hal ini mungkin krim kulit lebih diperlukan dibandingkan minyak berbau kuat yang digunakan dalam aromaterapi.

"Meskipun gagasan tentang krim penyembuhan kulit mungkin terdengar menarik, hasilnya mungkin berbeda tergantung pada setiap individu, karena "variasi genetik dalam reseptor bau," kata Mainland seperti dilansir Medical Daily.

Untuk satu individu, minyak mungkin memiliki efek penyembuh, sementara pada orang lain dengan reseptor bau yang berbeda; hasilnya bisa netral atau bahkan beracun.

Mainland menambahkan, sekalipun kekhawatiran tentang efek obat pada  orang-orang tertentu sangat nyata, namun kasus penggunaan obat atau krim pada satu kasus bermanfaat tetapi di kasus lain justru beracun cukup langka terjadi.

Sementara itu, Hatt menunjukkan studi ini dapat mengawali perkembangan pengobatan penyakit baru dengan menargetkan reseptor bau di daerah lain dari tubuh kita. Misalnya dalam bentuk perawatan untuk menyembuhkan luka, memperbaiki kerusakan kulit yang disebabkan oleh penuaan, dan mungkin akhirnya obat untuk mengobati organ internal.

Mainland menyimpulkan, mungkin dibutuhkan waktu lama untuk menemukan pengobatan baru ini karena diperlukan jangka waktu lama untuk menguji keamanan dan kemajurannya.



View the Original article

No comments:

Post a Comment