Untuk Tekan Impor Daging, Dibutuhkan Pusat Unggulan Peternakan Rabu, 18 September 2013 Bogor - Indonesia membutuhkan pusat unggulan peternakan untuk mendorong pertumbuhan peternakan sapi untuk memenuhi kebutuhan daging di dalam negeri. Sebab saat ini daging sapi masih harus diimpor. Staf Ahli Menteri Riset dan Teknologi Bidang Pangan dan Pertanian Kementerian Riset dan Teknologi Benyamin Lakitan menegaskan perlunya pusat unggulan peternakan di Indonesia.Benyamin memandang persoalan peternakan di Indonesia masih nyata. Impor daging sapi pun masih terjadi.Ia menyebut tantangan peternakan di Indonesia meliputi rendahnya mutu genetik, penyakit ternak, kurang gizi dan nutrisi, mahalnya transportasi, dan kurangnya industri pengolahan."Awali dengan memahami kebutuhan dan persoalan yang dihadapi peternak atau industri peternakan. Perlu inisiasi teknologi yang berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kesesuaian," katanya di sela Seminar Nasional dan Forum Komunikasi Industri Peternakan dalam Rangka Mendukung Kemandirian Daging dan Susu Nasional, di Bogor, Rabu (18/9).Benyamin mengungkapkan saat ini, ada kecenderungan mengikuti teknologi maju dibandingkan mengembangkan teknologi yang bermanfaat. Teknologi bermanfaat ini bisa saja meliputi teknologi yang sangat sederhana maupun sangat maju sekalipun namun bermanfaat.Indonesia saat ini masih mengimpor daging sebesar 30 persen dan susu 70 persen untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Praktik impor sapi, daging dan susu yang semakin besar dan melebihi kebutuhan konsumsi dalam negeri meningkatkan ketergantungan terhadap bangsa lain dan mengancam kedaulatan bangsa.Saat ini sekitar 6 juta rumah tangga Indonesia sebagian besar penduduk miskin bermata pencaharian di sektor peternakan dan tinggal di pedesaan. Oleh karena itu pembangunan peternakan secara langsung atau tidak langsung akan berdampak positif terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia.Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Nuramaliati Prijono yang mewakili Kepala LIPI Lukman Hakim mengatakan tantangan itu memang tidak mudah dipecahkan karena saat ini impor daging, sapi dan susu sangat besar untuk kebutuhan daging dan susu nasional. Bahkan ada kecenderungan volume impor terus meningkat yang secara otomatis akan menguras devisa yang sangat besar."Impor yang sebelumnya dimaksudkan hanya sekadar mendukung dan menyambung kebutuhan daging dan susu domestik, ternyata justru telah berpotensi mengganggu usaha agribisnis sapi potong dan sapi perah lokal," ungkapnya.Dalam perkembangannya LIPI telah melakukan kegiatan penelitian peternakan dalam dua dekade (1992-2012) melalui pemberdayaan masyarakat di 21 provinsi, 77 kabupaten/kota dan 144 kelompok ternak binaan.Ia melanjutkan, apabila laju pertumbuhan penduduk setelah tahun 2025 rata-rata 1 persen per tahun maka pada tahun 2030 penduduk Indonesia akan lebih dari 286 juta jiwa. Hal ini berarti apabila mengikuti konsumsi daging masyarakat dunia tahun 2030 sebesar 43 kg per kapita, maka Indonesia harus menyiapkan daging sebesar 12,3 juta ton."Suatu angka yang fantastik dimana saat ini Indonesia baru bisa memproduksi daging sekitar 350.000 ton. Gambaran ini memperlihatkan betapa besar tantangan sekaligus peluang bagi agribisnis peternakan Indonesia," paparnya.Dalam kesempatan ini LIPI juga melakukan penandatanganan nota kerja sama (MoU) dengan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Kesehatan terkait pengembangan peternakan di Indonesia
» Arsip » Diakses : 36 kali » Dikirim : 0 kali | |
|
| | View the
Original article
No comments:
Post a Comment