Kunci Pengelolaan Cagar Biosfer adalah Komitmen Pemangku KepentinganJumat, 4 April 2014 (Jakarta Humas LIPI). Indonesia memiliki delapan cagar biosfer yang tersebar dari Sumatera hingga Sulawesi. Kedelapan cagar biosfer tersebut adalah Gunung Leuser (Nangroe Aceh Darussalam), Pulau Siberut (Sumatera Barat), Tanjung Puting (Kalimantan Tengah), Cibodas (Jawa Barat), Komodo (Nusa Tenggara Timur), Lore Lindu (Sulawesi Tengah), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan Giam Siak Kecil-Bukit Batu (Riau).
Prof. Dr. Yohanes Purwanto, Executive Director Man and The Biosphere Programme (MAB) UNESCO-Indonesia menandaskan, kunci utama pengelolaan cagar biosfer adalah komitmen yang baik antar pemangku kepentingan. Yang sudah berjalan baik di cagar biosfer Cibodas, terangnya yang juga peneliti Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat berbicara dalam Diskusi Pulbik yang salah satunya menyoroti tentang cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu Riau di Media Center LIPI, Kampus LIPI Gatot Subroto, Jakarta pada Kamis (3/4) lalu.Sedangkan pengembangan cagar biosfer di Giam Siak Kecil-Bukit Batu, lanjutnya, masih memiliki tantangan tersendiri. Tantanganya adalah belum dipahaminya konsep cagar biosfer oleh sebagian besar pemangku kepentingan. Hal ini terlihat dari adanya kebakaran hutan di kawasan cagar biosfer yang ditetapkan pada sidang UNESCO di Jeju, Korea Selatan pada tahun 2009 tersebut.Prof. Dr. Endang Sukara, peneliti senior LIPI dan juga dari MAB UNESCO-Indonesia mengungkapkan, pengembangan cagar biosfer adalah upaya untuk menyelaraskan pembangunan ekonomi dan pembangunan konservasi.Ia menjelaskan, cagar biosfer dibagi menjadi tiga zonasi. Pertama adalah zona inti sebagai ecosystem services yang dilindungi undang-undang atau peraturan lain. Kedua, wilayah open access sebenarnya adalah kawasan konsesi Hutan Tanaman Industri dan Hak Pengusaha Hutan (HPH), dan terakhir atau ketiga adalah zona transisi untuk pemukiman. Pengelolaaanya bukan hanya tanggung jawab institusi tapi tanggung jawab bersama, kata Endang.Kawasan Open AccessDi lain hal terkait cagar biosfer di Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Yohanes Purwanto menuturkan bahwa kawasan tersebut menjadi ajang kegiatan ilegal untuk pintu masuk perambahan di area inti kawasan cagar biosfer. Ada kawasan open access yaitu kawasan yang belum ditetapkan pengelolanya. Itu menjadi salah satu penyebabnya, tutur Purwanto, sapaan akrabnya.Ia meminta ada penguatan kelembagaan pengelolaan cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu. Perlu komitmen berbagi pihak, penguatan pengamanan dan aspek legal, juga pengembangan masyarakat. Hal itu bila ingin melindunginya, jelasnya.Cagar Biosfer Giam Siak Kecil - Bukit Batu sendiri mulai digagas sejak tahun 2003 atas inisiatif Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan kawasan Giam Siak Kecil Bukit Batu yang didominasi oleh hutan rawa gambut tropis yang sangat rentan terhadap gangguan aktivitas manusia dan perubahan iklim melalui upaya konservasi lansekap, ekosistem, dan plasma nutfah.Keberadaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil - Bukit Batu juga untuk menjadikan kawasan ini sebagai kawasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan aspek ekologi dan aspek sosial ekonomi serta budaya masyarakat.Kepala Biro Kerja Sama dan Pemasyarakatan Iptek (BKPI) LIPI Nur Tri Aries, M.A mengungkapkan LIPI sebagai focal point MAB UNESCO-Indonesia telah berperan aktif bersama Kementerian Kehutanan RI mengajukan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil - Bukit Batu, Riau sebagai cagar biosfer baru dunia. Pengajuan pada September tahun 2008, untuk ditetapkan oleh ICC (International Coordinating Council) Program MAB UNESCO Headquarter Paris sebagai cagar biosfer baru, pungkasnya. (fz)
» Arsip » Diakses : 109 kali » Dikirim : 0 kali | |
View the
Original article
No comments:
Post a Comment