Wednesday, February 20, 2013

LIPI NILAI PEMERINTAH LANGGAR FILOSOFI CUKAI

LIPI Nilai Pemerintah Langgar Filosofi Cukai
Selasa, 19 Februari 2013

Jakarta - Langkah pemerintah terkait wacana pengenaan cukai terhadap beberapa produk seperti telepon seluler, komputer genggam, komputer tablet hingga minuman berkarbonasi dan berpemanis dinilai telah menyalahi filosofi cukai.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Latif Adam menilai, pemerintah saat ini telah keluar dari patron demi mengejar penerimaan negara.

"Ada setting yang salah di sini. Cukai itu bukan instrumen utama dalam penerimaan negara," ujar Latif hari ini, Selasa (19/2) di Jakarta.

Ia mengungkapkan, cukai seharusnya digunakan sebagai instrumen untuk mengontrol konsumsi suatu produk atau barang. Menurut dia pemerintah saat ini menggunakan pendekatan parsial dalam mengoleksi penerimaan negara.

Kalau saya melihatnya sekarang ini parsial, begitu pemerintah tidak mampu memenuhi target pajak, maka kemudian instrumen cukai yang dimainkan, tutur Latif.

Padahal, semakin ekspansif kenaikan cukai terhadap produk tertentu, dapat berimplikasi pada penurunan pendapatan dari sumber penerimaan negara lainnya seperti pajak. "Ini istilahnya masuk kantong kiri keluar kantong kanan," katanya.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemkeu), realisasi sementara penerimaan cukai dalam APBN-P 2012 yang dilansir Januari 2013 mencapai Rp 95 triliun atau 114,1 persen dari target yang ditetapkan yakni Rp 83,3 triliun. Sedangkan dalam APBN 2013, cukai ditargetkan menyumbang Rp 92 triliun bagi penerimaan negara.

Suistanibility Industri Nasional
Pemerintah dalam menggenjot penerimaan negara, kerapkali menggunakan pendekatan parsial. Pemerintah menggunakan persepktif kaca mata kuda, kata Latif.

Dia menambahkan, ketika target penerimaan negara tercapai, cukai yang dimainkan, meski itu mempunyai dampak diametral terhadap penerimaan pajak itu sendiri dan dampak daya saing dari industri. Menurutnya, permasalahan ada di sana, jadi keberlangsungan industri nasional kurang diperhitungkan secara matang.

Bahwa pemerintah ekspansi cukai/pajak tetapi tidak pernah memperjuangkan eksistensi industri nasional. Menurut saya yang paling penting adalah suistanibility industri, tegas Latif.

Ia juga mengritik langkah kementerian satu dengan kementerian lainnya tidak sinergis. Latif mencontohkan, sikap Kemkeu yang cenderung memakai kaca mata kuda untuk mengkoleksi penerimaan negara.

Di sisi lain, Kemkeu tidak ada koordinasi dengan Kemperin terkait dampak bagi keberlangsungan industri jika Kemkeu terlalu ekspansi mencari penerimaan cukai pajak.

Ini mencerminkan gerak langkah kementerian satu dengan kementerian lain tidak sinergis. Industri nasional mengalami kalah daya saing, di sisi lain pemerintah menggerogoti industri nasional, tegasnya.

Sebelumnya, riset yang pernah dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi UI menyatakan, bahwa tarif cukai Rp 3000/liter pada minuman ringan berkarbonasi akan mengurangi penjualan produk hingga Rp 5.6 triliun, yang pada akhirnya akan mengurangi jumlah keseluruhan produksi ekonomi Indonesia sebesar Rp 12.2 triliun.

Lebih jauh tarif cukai sebesar Rp 3000/liter pada minuman ringan berkarbonasi akan mengurangi pemasukan pemerintah dari penerimaan pajak tak langsung sebesar Rp 710 miliar.

Menurut peneliti LPEM FE UI, Dr Eugenia Mardanugraha, pendapatan publik diperkirakan akan berkurang hingga Rp 1.56 triliun, yang juga berarti akan mengurangi daya beli konsumen secara keseluruhan.

Diperkirakan lebih dari 80,000 orang akan kehilangan pekerjaan apabila tarif cukai dikenakan pada CSD. Perekonomian nasional akan melemah akibat menurunnya pendapatan dan pengkaryaan publik apabila minuman ringan berkarbonasi dikenakan cukai, ungkapnya.

Sebelumnya diwartakan rencana pemerintah akan mengenakan cukai pada minuman ringan berkarbonasi (CSD). Hitungan pemerintah yang berencana mengenakan tarif cukai sebesar Rp 3000/liter pada CSD dengan harapan akan menambah pemasukan dari cukai sebesar Rp 590 Miliar per-tahun.

Penulis: INA/RIN

Sumber: Investor Daily



» Arsip
» Diakses : 38 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

No comments:

Post a Comment