Sunday, November 9, 2014

Rasa cinta berhubungan dengan agresi

Jakarta (ANTARA News) - Hasil studi baru menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu empati, kelembutan dan simpati bisa memprediksi perilaku agresif.

Ketika ekspresi kebaikan berwujud tonjokkan ke hidung, penyebabnya bukanlan kemarahan atau perasaan terancam menurut Michael J. Poulin, yang studinya yang berjudul "Empathy, Target
Distress and Neurohormone Genes Interact to Predict Aggression for
Others-Even Without Provocation" bersama Anneke E.K. Buffone dipublikasikan di Personality and Social Psychology Bulletin bulan ini.

Poulin, dari Universitas Buffalo New York, mengungkapkan bahwa ada nua neurohormon yang berkontribusi pada mekanisme respons yang berlawanan dengan intuisi yakni oksitosin dan vasopressin, yang beraksi dalam aliran darah dan neurotransmitter di otak.

"Oksitosin dan vasopressin dua-duanya terlihat berperan utama untuk meningkatkan 'perilaku pendekatan'," kata Poulin, profesor madya psikologi.

"Orang-orang dimotivasi oleh pendekatan sosial atau menjadi lebih dekat dengan orang lain," katanya seperti dilansir laman resmi Universitas Buffalo.

Namun Paulin mengatakan bahwa orang saling mendekati karena banyak alasan, termasuk agresi, sehingga bisa jadi jika kasih sayang berhubungan dengan hormon-hormon ini dan hormon-hormon ini berkaitan dengan perilaku pendekatan sosial maka mungkin ada hubungan antara kasih sayang dan agresi.

Para peneliti kemudian melakukan dua bagian studi yang terdiri atas survei dan eksperimen.

"Hasil keduanya mengindikasikan bahwa perasaan yang secara luas kita sebut empati, atau kasih sayang, bisa meramalkan agresi atas nama kebutuhan itu," kata Poulin.

Survei itu meminta orang melaporkan seseorang yang dekat dengan mereka dan menjelaskan bagaimana orang terancam pihak ketiga. Kemudian peserta menggambarkan emosi mereka dan reaksi terhadap situasi.

"Itu tidak mengejutkan," katanya.

Orang-orang menyerang atas nama orang lain telah secara luas diteliti, tapi Buffone dan Poulin mengatakan,"ide bahwa empati bisa mendorong agresi tanpa provokasi atau ketidakadilan cukup baru."  

Sementara dalam percobaan, para partsipan diminta memberikan sampel air liur mereka untuk mengukur tingkat neurohormon, kemudian mendengar cerita uamh membangkitkan kasih sayang tentang seseorang yang tak pernah mereka temui, seorang peserta fiktif yang seharusnya berada di ruangan lain dengan peserta fiktif lainnya.

Peserta penelitian diberi informasi bahwa pasangan di ruang lain, asing satu sama lain, yang akan mengikuti tes matimatika, akan dipapar rangsangan menyakitkan namun tak berbahaya (saus panas) untuk mengukur efek rasa sakit pada tindakan itu.

Selama pengujian, subyek yang nyata punya pilihan untuk memilih berapa banyak rangsangan menyakitkan yang akan mereka berikan ke pihak ketiga yang bersaing dengan orang lain yang mereka kasihi.

"Hasil survei dan eksprimen menunjukkan, perasaan yang kita miliki saat orang lain membutuhkan, apa yang secara luas kita sebut perhatian atau kasih sayang empatik, dapat memprediksi agresi atas nama mereka yang membutuhkan," kata Poulin.

"Dalam situasi di mana kita sangat peduli pada seseorang, sebagai manusia, kita termotivasi untuk menguntungkan mereka, tetapi jika ada orang lain yang menghalangi, kita dapat melakukan hal-hal merugikan pihak ketiga," tambah dia.

Menurut Poulin, reaksi itu bukan karena pihak ketiga telah melakukan sesuatu yang salah.

Studi kami menguatkan pendapat bahwa respons kita karena cinta atau kasih sayang pada orang yang kita pedulikan," katanya seperti dilansir laman Universitas Buffalo.

Penerjemah: Lia Wanadriani Santosa

Editor: Maryati

COPYRIGHT © ANTARA 2014



View the Original article

No comments:

Post a Comment