Friday, April 26, 2013

JANGAN TERGANTUNG TEKNOLOGI

Jangan Tergantung Teknologi
Kamis, 25 April 2013

Kedepankan Pengetahuan dalam Penanggulangan Bencana

Padang, PadekBerbagai elemen masyarakat dan instansi pemerintahan terus menunjukkan kepedulian terhadap mitigasi bencana. Terutama dalam menghadapi ancaman gempa dan tsunami, masyarakat diingatkan jangan bergantung pada teknologi, melainkan pada kemampuan mitigasi dan pengetahuan individu menghadapi bencana.

Demikian terungkap dalam diskusi terbatas Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang dalam membahas kesiapsiagaan bencana di Kantor AJI Padang, Selasa malam (23/4).

Diskusi diikuti Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Sumbar, anggota AJI Padang dan sejumlah jurnalis lokal dan nasional. Di waktu yang sama juga berlangsung Forum International Table Top Exercise (TTX) Mentawai Megathrust Disaster Exercise (DIREx) di Pangeran Beach Hotel.

Pada diskusi itu dibahas sederet bencana yang terus menerus menghantui masyarakat Sumbar. Kemudian, pentingnya intervensi pengetahuan dalam mengurangi risiko bencana, kemungkinan waktu peristiwa yang berisiko terbesar, bagaimana menghindari proyek teknologi bermodus bantuan sosial kebencanaan, hingga semboyan baru masyarakat Mentawai.

Kenapa harus menunggu momen untuk mendiskusikan masalah kebencanaan. Toh, ini sudah menjadi kekhawatiran umum, ungkap Bidang Pendidikan dan Komunikasi LIPI, Irina Rafliana.

Irina Rafliana mengatakan, latihan kesiapsiagaan dapat mengintervensi pengetahauan masyarakat Mentawai. Seperti yang terjadi di salah satu daerah bencana. Di sana, 99 persen masyarakatnya selamat dari tsunami setelah masyarakat mengikuti pelatihan. Hanya satu orang yang meninggal. Pelatihan itu baru pertama kali selama dua minggu. Saat tsunami melanda, sekitar 99 persen dari mereka selamat.

Hanya ada satu korban, yang sedang mencari kepiting saat kejadian berlangsung. Berdasarkan pengalaman itu, latihan-latihan penting untuk mengurangi korban jiwa. Kalau masyarakat tidak punya pengetahuan, mereka tidak mampu melakukan apa pun saat ada tanda-tanda bencana, tutur Irina.

Seperti diketahui, TTX yang berlangsung tiga hari ini (22-25 April 201) di Padang, dibagi dua sesi; akademik dan latihan. Sesi akademik meliputi pelatihan sistem peringatan dini tsunami, manajemen kedaruratan, mekanisme kerja sama internasional saat bencana, mekanisme penggunaan aset-aset militer dalam masa tanggap darurat, peran masyarakat internasional, serta sesi berbagi pengalaman menangani gempa dan tsunami dengan pemerintah Jepang.

Sesi latihan, merupakan pelatihan bersama yang melibatkan pemangku kepentingan di tingkat domestik dan regional dalam menghadapi sejumlah skenario kejadian bencana besar. Memang pada sesi latihan tahap I ini, seluruh elemen masyarakat belum dilibatkan. Yang dilibatkan itu, unsur pejabat pemda seperti BPBD, Kapolres, Dandim. Kemungkinan, pada tahap selanjutnya (gelar latihan di lapangan), kita akan melibatkan seluruh elemen masyarakat, ujar Kapenrem 032/ Wirabraja, Mayor Inf Supadi kepada Padang Ekspres, kemarin.

Setiap hasil kajian para peneliti, mestinya dibarengi pembentukan protokoler. Lewat protokol itu, pembinaan dilakukan. Setiap daerah di pesisir barat Sumatera, harus digambarkan berada pada keadaan terburuk saat pemberian pelatihan. Ini bertujuan agar warga tidak gagap saat mengalami peristiwa yang luar biasa.

Dia memprediksi risiko terbesar masyarakat Mentawai saat tsunami pada siang hari. Sebab, malam hari biasanya masyarakat Mentawai berkumpul. Dengan begitu, instruksi akan terarah. Berbanding terbalik dengan asumsi peserta lain, Nanang Suharto yang justru memprediksi risiko terbesar pada malam hari. Alasannya, aktivitas sehari-hari masyarakat Mentawai rata-rata di daerah perbukitan. Sedangkan malam, mereka kembali ke rumah yang mayoritas tinggal dekat pantai.

Nanang yang tergabung dalam Forum PRB itu, berharap masyarakat jangan menggantungkan hidup pada teknologi. Dalam artian, hanya menunggu instruksi dan aba-aba dari alat pendeteksi. Mesti punya pengetahan juga. Jangan sampai sudah ada gempa, terus masyarakat hanya menunggu bunyi sirene, atau tanda-tanda dari alat yang lain. Mana tahu alatnya tidak berfungsi. Jadi, jangan sampai masyarakat menggantungkan hidup pada teknologi, harapnya.

Dia mencontohkan bantuan alat pendeteksi longsor dan gerakan tanah di Malalak, Tanahdatar yang tidak berfungsi lagi. Untuk memperbaikinya, mesti dilakukan negara bersangkutan.

Diskusi yang berlangsung sekitar tiga jam itu, juga mengupas ekses di balik penanganan bencana. Seperti ketergantungan Indonesia pada negara lain dalam penanganan bencana, wadah promosi alat-alat canggih kebencanaan, maupun jadi objek dari proyek-proyek teknologi dari sejumlah pihak.

Irina Rafliana mengingatkan bahwa potensi tsunami tidak hanya ditandai dengan getaran kuat. Gempa dengan getaran lemah namun lama dan membuai, juga memiliki potensi tsunami.

BMKG Pusat, Weniza menyampaikan, BMKG sendiri tidak punya kebijakan untuk memberi instruksi evakuasi kepada masyarakat. Paling lama lima menit pascagempa, BMKG sudah mengeluarkan peringatan dini pertama. Hingga sepuluh menit, kami akan mengeluarkan peringatan kedua. Setelah itu peringatan ketiga dan keempat. Kami lalu memberi referensi apakah berpotensi tsunami atau tidak. Jadi, BMKG hanya memberi informasi, bukan instruksi, jelasnya.

Setelah BMKG memberi referensi, diikuti instruksi dari pemerintah daerah melalui BNPB, kepolisian ataupun TNI. Jadi, kami hanya beri referensi awas, siaga dan waspada. Kebijakan selanjutnya, akan lahir dari corong pemerintah, tutur staf Bidang Mitigasi Gempa Bumi BMKG Pusat itu. (cr1)



» Arsip
» Diakses : 79 kali
» Dikirim : 0 kali



View the Original article

No comments:

Post a Comment